Gersangnya Jiwa Neo

Gersangnya Jiwa Neo
Tengah hari kala itu, bagi sebagian besar orang, adalah saat-saat paling tidak menyenangkan untuk keluar rumah. Panas hari itu terasa mau membakar ubun-ubun. Suasana hari itu juga terasa gersang. Debu-debu beterbangan, diterbangkan oleh angin musim kemarau yang juga membawa hawa panas. Melihat dan merasakan semua itu, orang-orang tentu memilih untuk tidak keluar rumah. Lebih memilih beraktifitas di dalam ruangan dengan AC menyala.

Namun, tengah hari bolong yang panas membakar itu tak mampu membuat hati dan pikiran Neo mendidih. Jika sebagian besar orang yang berpapasan dengannya berwajah mengkerut karena kepanasan, maka hal itu tak nampak di wajah Neo. Mukanya nampak segar berseri-seri. Jika sebagian orang besar orang yang berpapasan dengannya berjalan cepat-cepat untuk menghindari terik, maka itu tak terjadi pana Neo. Dia malah berjalan dengan tenang dan santai. Sesekali ia nampak tersenyum. Sebuah senyum yang memancarkan kemenangan, kebahagiaan, dan kebanggaan.

Hari ini memang hari yang membahagiakan bagi Neo. Baru saja, di sekolah, ia menerima rapor dan untuk kesekian kalinya, ia menjadi juara kelas. Hal inilah yang membuat hati Neo berbunga-bunga bahagia. Sebuah kebahagiaan yang menyejukkan dan mampu membentengi dirinya dari panas terik matahari kemarau siang itu.

“Selamat ya, Neo. Kamu juara kelas lagi. Bapak akan semakin bangga padamu jika kamu bisa mempertahankannya hingga kau lulus dari SMA ini.”

Suara sang kepala sekolah yang lembut dan berwibawa seolah-olah hadir di kepalanya dan disetel berulang-ulang.

Dan, semua itu membuat senyum Neo semakin lebar.

ooOoo

“Prang!”

Sebuah panci melayang hampir mengenai kepala Neo tepat di saat dia baru pulang kuliah dan hendak melewati ruang tamu.

“Apa tidak cukup semua yang telah aku berikan dan aku korbankan kepadamu selama ini?” Teriak ayah Neo, menyalak bak anjing herder kesetanan.

“Dasar pelacur!” Tambahnya menghardik.

“Omong kosong! Lagakmu kayak orang suci. Aku baru tahu istri simpananmu itu banyak.” Balas ibu Neo tak kalah galaknya.

“Ceraikan aku sekarang juga!”

Dan sebuah piring pun melayang, menghantam sebuah TV yang menyala. Layar TV itu pun pecah berkeping-keping.

Percekcokan keduanya terus berlanjut. Mereka bahkan tidak menghiraukan kehadiran Neo yang saat itu telah berurai air mata. Neo melangkah gontai di antara perang dunia kedua antara ayah dan ibunya itu.

Sesampainya di kamar, Neo membanting tas dan tubuhnya ke atas kasur. Ia tak tahu harus berbuat apa. Dadanya bergemuruh. Dalam hati ia tak habis pikir, kenapa hal ini bisa terjadi pada dirinya?

“Ayah dan ibuku jarang ketemu. Mereka sibuk dengan bisnis dan urusannya masing-masing. Begitu ketemu, mereka langsu tengkar.” Ratapnya di antara isak tangis kesendiriannya.

Berbagai pertanyaan-pertanyaan ganjil berkecamuk di kepalanya. Semuanya membuat dadanya terasa sempit. Nafasnya tersengal. Suara isak tangisnya semakin lama semakin pelan. Akhirnya, isak tangis itu pun tak terdengar lagi. Neo tertidur di dalam kegalauannya.

Pagi harinya, Neo mengemudikan motornya dengan kesetanan, ngebut sengebut-ngebutnya hingga orang-orang yang berpapasan dengannya menganggap Neo sudah gila. Bukan kea rah kampus seperti biasanya, namun kea rah sebuah tempat bar remang-remang di pinggiran kota.

Ia teringat kata-kata teman kampusnya bahwa dengan teller, semua permasalahan berat yang dialami akan hilang. Maka ia pun tak ragu, ia tenggak sebanyak mungkin minuman keras di bar itu hingga ia mabuk berat dan tak ingat apa-apa lagi.

Ia baru tersadar ketika ia lihat belasan orang terseungkur di pinggiran trotoar. Ternyata orang-orang yang tersungkur itu adalah para pejalan kaki yang baru saja dia tabrak. Ada yang luka ringan, luka berat, bahkan ada yang meninggal di tempat. Tak lama kemudian, samar-samar dia lihat sekerumunan orang berlari ke arahnya sambil berteriak-teriak memaki. Meraka nampak membawa pentungan dan akan segera menghajar dirinya.

Neo tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak bisa lari karena kepalanya masih pusing dan kakinya terluka. Tak ayal, ia pun menerima amukan massa di pinggir jalan itu. Ia pun berjuang antara hidup dan mati.

Di saat-saat kritis itulah, muncul seseorang yang berteriak meminta warga menghentikan aksinya. Mendengar teriakan lelaki ini, orang-orang pun berhenti menghajar Neo. Ternyata lelaki ini adalah seorang tokoh agama di kawasan ini. Tanpa pikir panjang lagi, lelaki ini menggotong Neo yang saat itu sudah remuk berdarah-darah ke rumahnya.

Pak Ikhsan, begitulah masyarakat sekitar memanggilnya. Lelaki yang baik hati ini adalah seorang ustadz terkemuka di kampungnya. Dialah yang merawat Neo hingga pulih dari lukanya, baik itu luka fisik karena dihajar massa maupun luka batin yang dialaminya.

Cerpen karangan : Farid Ab

Dela

Dela
“Saudara sebagai seorang ketua sangat tidak bertanggung jawab! Ketika semua bekerja keras, Anda malah tidak datang dengan alasan ketiduran! Ketua macam apa itu!”

Dia berkata dengan keringat yang menetes dan muka merah sambil menunjukkan jarinya kepadaku. Entah bagaimana ekspresi wajahku waktu itu, yang kurasakan hanyalah cengkeraman tangan Adi di bahuku.

“Kami bukannya budak yang dapat saudara suruh seenaknya. Kami di sini belajar berorganisasi, bekerja sama, dan membina persaudaraan, bukannya memupuk sikap diktator dan tak tahu diri!”

“Kamu keterlaluan!” Aku sudah tidak sabar mendengarkan omongannya. Telingaku rasanya terbakar.

“Kamu tidak berhak menuduh saya demikian! Apa buktinya kalau saya bersikap diktator?”

Sungguh di luar dugaan, dia tersenyum! Sungguh! Dia melihat seluruh peserta rapat dengan senyum tipis di bibirnya. Semua peserta terdiam.

“Coba Anda tanyakan pada peserta rapat tentang sikap Anda. Instrospeksi dirilah Bung!” Dia duduk di kursinya. Suara kursi bergeser itu terasa menyakitkan telinga dan ruangan itu kembali sepi seperti kuburan. Kupandangi mereka satu per satu dan mereka hanya menunduk.

Tiba-tiba dering bel mengejutkan kami. Kepala mereka tengadah menatapku. Segera aku berusaha menguasai diriku, “Baik, silakan Pendamping Kelas kembali ke posisi masing-masing dan bagian inspeksi segera bergabung dengan kelompoknya masing-masing!”

Begitu aku selesai bicara, ruangan itu dengan cepat berubah menjadi kosong.

“Raka, ayo, kita harus segera inspeksi!” Kutatap mata Adi, dia menunduk.

“Kamu juga setuju dengan dia Di?”

“Ah sudahlah, jangan dipikir, kerja kita masih banyak.”

Memang benar katanya. Ini adalah hari kedua Penataran P4 siswa baru. Masih ada empat hari lagi. Tapi kata-kata Dela tidak bisa kuabaikan begitu saja. Di dalam organisasi ini dia tergolong orang baru walaupun dia berkemampuan tinggi. Dia tidak seperti aku atau Adi, juga Ratna, Sari, Joko, Fitri, dan Dimas yang sudah dua tahun ikut organisasi di SMU ini. Begitu beraninya dia mempermalukan aku di depan orang banyak. Rasanya aku ingin menonjoknya, untung saja dia cewek.

“Ayo Raka!” Adi sudah tidak sabar.

“Sudah, kamu saja yang inspeksi, aku malas.”

“Lho, Raka!” Kutinggalkan Adi begitu saja.

Ya, memang salahku tidak datang pada hari pertama Penataran P4, dan otomatis Dela sebagai wakilku yang harus menanggung semua itu. Bukankah itu sudah tugasnya? Aku tahu kemampuannya walau dia masih baru, dan itulah sebabnya dia terpilih jadi wakilku. Tapi sungguh tidak adil kalau dia mempermalukan aku sebegitu rupa.

Sejenak kuamati papan pengumuman itu. Rupanya daftar kelas tiga yang baru sudah disusun. Ah, aku memang keterlaluan, aku tahu kalau kertas itu sudah menempel di situ sejak seminggu yang lalu, dan selama itu aku santai-santai di kamarku sambil sesekali nonton tivi dengan mama. Aku memang meninggalkan tugasku begitu saja, dan justru kata-kata Dela yang jujur seolah-olah menelanjangiku di depan orang banyak.

Dela Ardiana! Sialan, aku harus sekelas dengannya. Entahlah, tiba-tiba suatu pikiran jahat menelusup otakku.

ooOoo

Dengan cueknya dia mengecat kertas itu. Kuakui dia memang jago melukis. Herannya, orang bilang kalau seniman (yah, setidak-tidaknya dia pantas disebut seperti itu) itu perasaannya halus. Tapi tidak dengannya, dia berkali-kali melakukan tindakan ‘kasar’ seperti menolak cinta seorang laki-laki (yah, dalam hal ini aku tahu dari Adi, karena Adi sendiri pernah ditolaknya) dengan kata-kata yang mengejutkan, muka tak berekspresi dan meninggalkan mereka tanpa salam atau kata-kata halus. Selain itu dia tidak suka bercanda dengan cowok. Kata-katanya pendek-pendek dan tenang, ah, bukan tenang, tapi tegas. Dia juga tidak suka ngumpul-ngumpul di pesta ulang tahun. Benar-benar cewek yang menjengkelkan!

“Aduh!” Dilihatnya cat air merah itu tumpah dan membasahi kertas itu. Dia memandangku dengan tajam.

“Waduh, maaf ya, nggak sengaja, makanya kalau naruh cat jangan sembarangan! Kalau gini, madingnya nggak jadi-jadi!” Dia memalingkan mukanya dan menyobek kertas itu sambil melirikku dengan pandangan mata yang tajam. Sekejap aku merasa seram melihat roman mukanya.

“Mas Raka, ayo pulang dong!” suara manja Tika seolah-olah menyelematkanku dari pandangan mata Dela.

“Ayo!” Kuambil tas ranselku dan kupeluk pinggang Tika menjauh darinya.

“Lho, kok Mas Raka senyum-senyum sendiri?”

“Nggak apa-apa kok Tik.”

Usahaku tidak berhenti sampai di sana. Mading yang ditempelnya tiga hari kemudian diam-diam kucopot dan kurobek-robek lalu kubuang di sampah. Kubuat sedemikian rupa sehingga mudah dikenali.

Dan benarlah! Satu sekolah gempar!

Dan kulihat wajahnya menegang, merah, berkeringat, dan berkerut-kerut. Sepanjang hari itu dia terlihat gelisah di kelas. Aku tahu hal inilah yang paling membuatnya susah. Dia sangat menghargai karya seni, terutama karyanya sendiri. Apalagi mading itu adalah mading terakhir di penghujung masa tugasnya. Rasakan!

ooOoo

“Raka, ada temannya datang!” Mama memanggilku dengan suara soprannya.

“Sebentar Ma! Sialan, siapa yang datang jam segini. Seharusnya mereka tahu kalau jam segini waktuku untuk bersiap-siap untuk apel ke rumah Tika.

Dela tersenyum di kursi merah itu. Kulihat wajahnya berkeringat. Aneh tidak seharusnya orang berkeringat di malam seperti ini.

“Maaf mengganggu Raka.”

“Ya, ada apa?”

Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan kursi.

“Dela mau minta maaf. Dela merasa bersalah karena mading…” dia menatapku, aku mencoba tenang sambil mengangguk-anggukkan kepalaku.

“Sudahlah, memang jahat orang yang melakukan itu, tapi aku sudah maklum kok Del.” Aku ingin segera menyelesaikan pembicaraan. Aku ingin dia pergi secepatnya dari hadapanku.

“Terima kasih. Ah, iya, Dela mau minta tolong sama Raka.”

“Ya?” Aku mulai curiga.

“Sebentar.” Dela keluar, kuikuti dia. Dia berjalan ke Katana merahnya dan kembali dengan sebuah gulungan kertas.

“Ini, maaf kalau tidak sebagus yang dulu, Dela sudah mulai ada try out.”

“Lalu?”

“Tolong Raka yang menempelkan, mungkin lebih aman. Tak ada yang berani menyobek kalau Raka yang menempelkan, kan?” Dia tersenyum. Sungguh! Senyumnya membuatku merasa seperti ditusuk-tusuk sebilah pisau tajam. Dia seperti tahu semuanya. Dia seolah-olah menganggapku anak kecil yang ketahuan berbohong kepada ibunya.

“Makasih ya Ka, Dela pulang dulu.” Dia pergi dengan kepulan asap mobilnya.

Aku sudah tidak ingin pergi ke rumah Tika, juga menerima telepon dari Adi atau Irwan yang mengajakku jalan-jalan.

ooOoo

Entahlah, sejak saat itu aku sangat suka melihatnya. Kuperhatikan bagaimana eskpresi mukanya ketika mendengar sesuatu yang lucu. Keringatnya yang menetes ketika sinar matahari begitu kejam meradiasi kulitnya yang kuning langsat, juga bagaimana dia selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan guru. Sesungguhnya dia sangat cerdas dan berani.

Dia juga agak pendiam. Dia tidak suka mendengar pembicaraan yang kacau atau ngerumpi seperti biasa yang dilakukan cewek-cewek. Dia juga tidak pernah naik Katana-nya ke sekolah. Dia lebih suka membonceng di belakang Rahma, teman sebangkunya yang berjilbab itu, dan dia suka sekali berjalan-jalan ketika istirahat. Entah ke kantin, ke perpustakaan, atau sekadar berjalan!

“Lihat apa, Ka?” Sodokan lengan Adi membuatku kaget. Aku diam.

“Kamu lihat-lihat Dela lagi.” Nadanya seperti mengeluh.

“Aku tidak suka kalau kau mengejarnya, kamu sudah cukup menyakitinya!”

“Siapa sih yang ingin dekat dengan anak sombong seperti dia?” Adi menatap mataku tajam-tajam. Matanya menyelidik seolah-olah ingin menelanjangiku.

“Kita duel pulang sekolah nanti di rumahku!” Lalu Adi berdiri dan permisi ke belakang.

Sudah kesal rasanya menjelaskan pada Adi bahwa aku tidak bermaksud mendekati Dela dan memujanya. Dia selalu bilang padaku bahwa dia tidak pernah tergila-gila pada seorang perempuan seperti itu.

“Kamu suka dia! Bangsat! Pengecut!” Tiga hantaman dari tangannya yang berat menghantam rahangku.

Aku tahu kalau aku akan kalah. Dia pandai berkelahi, dan terlebih dia ikut karate sejak SMP.

“Ayo ngomong! Satu tinju lagi mendarat di perutku.

“Di, sudah! Sudah!” Tak ada yang dapat kuperbuat selain menghindar. Tak ada yang akan memberiku pertolongan walaupun aku menjerit sekuat tenaga. Halaman rumah Adi luas, dan rumahnya kosong! Pembantu-pembantu itu tak akan bisa berbuat apa-apa.

“Ngomong, bangsat!” Lalu satu pukulan lagi. Dan aku terkapar!

“Oke, oke, kamu benar! Oke!” Kurasakan nafasku hampir mencekik tenggorokanku.

“Ya, aku mulai menyukai dia! Ya, mungkin aku jatuh cinta padanya!” Mataku terasa berkunang-kunang.

“Pulanglah!” Dia melemparkan ranselku dan sebuah agenda. Kucoba untuk duduk di rerumputan itu. Seorang pembantu Adi yang kutahu bernama Inah membawakan segelas air es.

“Agenda siapa ini?”

“Dela.”

“Dari mana kau dapatkan dini?”

“Kamu tak usah tahu. Buka halaman terakhir!”

Kubuka agenda hitam berlogo OSIS itu. Sebaris puisi tertulis dengan rapi:

    Pertengkaran

    Untuk Raka

    Atmosfir dingin melingkupi kami

    Bukan hal yang terbaik dari keinginanku

    bicara jujur

    itu saja

    karena selebihnya aku cinta padamu

    Dan kau mengembalikan cintaku dengan

    sebuah tusukan jitu

    tepat di nyawaku

    Surabaya, 26 Agustus 1997

Tiba-tiba perasaanku sangat kacau. Kulihat wajah Adi, sebuah genangan air di sekitar matanya.

“Di, kamu?”

“Ya, aku menangis. Kau sudah tahu kan sekarang? Pergilah! Pulanglah!” Suaranya bergetar, aku tahu dia sangat sedih.

Dengan langkah gontai kutinggalkan Adi yang menekuk mukanya. Kepalaku masih pusing dan kurasakan darah menetes di sela bibirku.

ooOoo

Sungguh di luar dugaanku. Kukira Dela tidak punya perasaan dan kaku. Kukira dia selama ini sebuah patung agung yang hanya bisa kupandang. Ya Tuhan…., ternyata dia mencintaiku.

Aku tak bisa bersikap ketika pagi itu dia masuk dengan sikap yang biasa dan mengucapkan salam. Aku tak pernah tahu dia sebegitu pandai berakting sehingga perasaannya seolah tak ada.

Ah, bodohnya aku! Bukankah pandangan matanya waktu itu, ketika di datang ke rumahku, keringatnya yang menetes di malam yang sedingin itu….Ah, sialan! Aku tak bisa menebaknya. Aku tak akan tahu kalau Adi tidak menunjukkan agenda itu padaku.

Adi……., dia pindah ke bangku belakang sejak pertengkaran kami siang itu. Sekarang aku duduk sendiri. Aku memang tak seberuntung Adi yang mudah disukai siapa saja.

Aneh memang kalau Dela menolak cowok seperti Adi. Apa kurangnya dia? Dia keren, tinggi, putih, cerdas, dan beken.

Dengan penasaran kubuka sebuah buku tulis tebal di bangku Dela. Waktu itu kelas sepi. Hanya ada Retno dan Fajar yang asyik pacaran. Dan seperti dugaanku buku itu penuh dengan puisi dan coretan. Beberapa kali kuperhatikan dia menulis sesuatu dengan serius di buku itu, dan karena itulah aku curiga dan penasaran dengan isinya. Kubalik lembarannya dengan cepat.

    Maaf

    kepada Adi

    gumpalan kata yang kau ucapkan waktu itu…

    beberapa kali mengendap di hatiku

    walau kau tahu betapa tenangnya aku

    Allah….

Cepat-cepat kubalik lagi lembaran kertas itu, aku ingin menemukan puisinya tentang diriku di buku itu.

    Untuk Raka:

    Pergilah dengan tenang

    Tuhan…., berdosakah aku?

    Tuhan…., dia memandangku

    tajam seperti elang

    menyayatku menjadi tujuh bagian dan

    membawaku ke neraka

    Tuhan….., bencinya menggunung

    dan dia

    bodoh!

    Ya Allah!

    berikan sedikit kasih-Mu untuk

    mengusirnya dari hatiku

    Pergilah kau dengan tenang.

    Surabaya, 10 September 1997

Ah, bukankah ini adalah waktu dia tahu kalau madingnya kusobek? Tiba-tiba terlonjak ketika mendengar suaranya. Cepat-cepat kututup buku itu dan berpura-pura mencoret sebuah kertas kosong.

“Raka, pindah sana, aku mau duduk”

Apa ini, tak kudengar geratan suaranya ketika dia menyebut namaku. Dia bersikap biasa. Bahkan matanya juga terlihat tenang. Apa maksudnya? Bukankah dia seharusnya gugup karena aku ada di kursinya, terlebih-lebih buku tebalnya ada di hadapanku? Bukankah seharusnya dia curiga?

ooOoo

Aku benar-benar penasaran dengan Dela. Dia teramat tenang untuk gadis yang sedang jatuh cinta. Tika sudah kuputus dua hari yang lalu. Masih jelas dalam ingatanku wajahnya yang memelas dan air matanya yang turun satu-satu.

“Memangnya Tika salah apa sama Mas Raka, Mas?”

“”Tika nggak salah”

“Lalu, apa alasan Mas mutusin Tika?” dia terisak.

“Nggak ada.”

“Bohong! Tika tahu Mas bohong! Mas Adi bilang kalau Mas Raka jatuh cinta sama Mbak Dela.” Aku diam, aku tidak bisa membantahnya. Haruskah aku berbohong?

“Seharusnya Tika tahu kalau semuanya bakal begini, seharusnya Tika tahu!” Kubiarkan dia pergi meninggalkanku. Dia lari ke kamarnya. Dan dengan kikuk aku pamit pulang kepada mamanya. Mamanya tahu semuanya. Dia memandangku dengan benci.

Tapi walau bagaimanapun ini adalah keputusanku. Tidak bisa aku membiarkan Tika tersiksa terus menerus oleh sikapku yang acuh sejak aku membaca puisi-puisi Dela. Sejak aku jatuh cinta.

ooOoo

Sedikit gelisah aku memperbaiki sikap dudukku. Dela mendekatiku dengan langkah yang biasa (itu yang tak kusuka darinya). Dia membawa selembar kertas bergaris biasa, mungkin sobekan dari salah satu bukunya. Dia tersenyum sambil meletakkan kertas itu di atas mejaku.

    

    Buat Raka:

    Perpisahan

    Bertemu adalah untuk berpisah

    Melalui mata

    kutahu, kita berdosa….

    Masa bergerak menebas kita tanpa ampun

    Dan sebagian dari kita terlibas

    Mati!

    Dalam sepi

    Telusuri tasbih dan asma suci-Nya

    Kembali

    Kembalilah

    Dalam pelukan-Nya

    Kita berpisah untuk bertemu

    walau sepahit apapun

    berpisah untuk dipertemukan-Nya

    bila kau percaya

    dan Dia berkehendak

    

    Dela

Aku terlongo setelah membaca tulisan itu. Rupanya ini balasan dari surat cinta yang kukirim kemarin.

Dan keesokan harinya kulihat dia memakai jilbab panjang dan duduk dengan manis di kursinya. Dan diam. Dia tak lagi menatapku dengan pandangan yang tajam. Dan aku berusaha tidak menatapnya sejak saat itu. Aku tahu, aku terlalu kerdil untuknya.[]

Gresik, 12 Nopember 1997

Sumber: Majalah Remaja Islam PERMATA Edisi 25/VI Januari 1998

Kisah Cinta Sang Revolter

Kisah Cinta Sang Revolter
Sobat, aku pulang malam ini. Mendung gemulung, air tercurah seakan langit sudah tak sanggup menanggung bebannya. Bulan Desember, kata orang gedhe-gedhene sumber. Kereta api ekonomi yang aku tumpangi goyang sana-sini, berderak-derak rodanya melindas rel, membuat para penumpang tak nyaman dalam duduknya, ada yang gelisah, ada yang ingin tidur tapi tak nyenyak. Aku merapatkan jaket lalu berusaha tuk memejamkan mata. Para pengamen yang sedari pagi mengais rezeki, memilih duduk diam di kursi yang kosong dan sesekali menggosok-gosokkan tangan, mengharap sedikit kehangatan, dalam dinginnya udara yang lembab dan tak bersahabat. Kaca berembun, alam seakan ingin membekukan apa saja yang ada dalam pelukannya. Guntur menggelegar membangunkan bayi dari lelapnya, menangis, mengoek, memaksa sang ibu tuk menyusuinya. Tanpa segan sang ibu mengeluarkan teteknya, demi hilangnya keterkejutan sang buah hati. Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah. But mom…I love U.

Sobat, aku pulang malam ini. Takkan kulewatkan momen penting, aksi damai yang telah kita rencanakan. Demi sejahteranya rakyat dan sadarnya para pejabat. Suara revolusi kan kita gemakan. Kita hembus bara dalam sekam, agar api menggelora dan membakar. Udara boleh dingin, tapi kita tetap hangatkan diri dengan ideologi ini. Light up the world with Islam.

ooOoo



Stasiun kota Malang, basah oleh hujan, ramai orang, terasa tak nyaman. Boim keluar stasiun sambil menenteng sebuah tas…semoga saja isinya bukan bom (he…he…he…). Ia berjalan cepat-cepat dan sesekali melompat menghindari genangan air. Brrr…dingin… pikirnya. Ia berlarian menembus gerimis, menyeberang jalan, mendekati angkot yang sedang menunggu penumpang di pojok jalan. Fiiiiuuuuhhh…penuh, tinggal satu tempat yang kosong. Ketika hendak memasuki angkot, tiba-tiba ia merasa pantatnya dicolek.

“Hey Mas…enak aja main slonong!”

Boim menoleh, kok suaranya aneh. Huuuuaaaaa…ada bencong stasiun.

“Eike duluan yang booking tuh tempat!”

“Oh maaf Mas!” ujar Boim lalu turun dari angkot.

“Mas…mas…kapan aku rabi karo mbakmu!” jawab bencong itu kethus, kemayu, pokoknya nggemesin deh.

Boim mengalah. Seorang makelar menawarinya angkot lain yang masih kosong. Nasib dah, dicolek bencong. Hmmm…korban sistem tuh, salah urus sih, jadi bencong karena depresi sosial.

Sobat, gelap sejak tadi merajai langit. Sang surya berjam-jam yang lalu telah beringsut istirahat. Kelam, tak berbintang, hanya awan kelabu, menggantung, menggunung, menunggu jatuh sebagai hujan. Kabut tipis campur asap pinggiran kota. Bau alam yang kurindukan. Laron terbang mengelilingi lampu neon. Warung gorengan pinggir jalan menjanjikan camilan yang membuat perut keroncongan menjadi kenyang. Huh…angkot penuh, terjebak macet, bau asap kendaraan. Waaadduuuuh…ada akhwat yang ikut naik lagi. Ups…penuh…please deh mbak jangan duduk dekat saya. Waaa…waa…aduuuh…kok malah duduk dekat saya. Hmmm…semoga saja nggak ada kuch kuch hota hai nih…he…he…he…!.

Kota Malang, malam minggu, lalu lintasnya sering macet, apalagi jalur yang ke kota Batu. Boim salah satu user angkot yang ikutan sebel dengan masalah satu ini. Apalagi nih, di sampingnya ada akhwat, malah tambah gaswat. Berjilbab biru dan berkerudung putih, cantik lagi. Sungguh, Boim nggak berani memandang. Apalagi coba-coba tuk lirak-lirik…nggak deh.

Duduknya pun digeser agar tak bersentuhan langsung dengan sang akhwat. Kepalanya neleng terus ke kiri, memandang keluar, lewat jendela belakang, sampai sang akhwat turun. Waduuuh, tengler juga tuh leher. (Tapi nggak papa kok Im, gadhul bashar. Siiip …dah!)

ooOoo



Selamat pagi kota Malang tercinta. Huuuaaaah segernya, habis mandi langsung sarapan sama nasi pecel. Semalam suntuk sama temen-temen buat plakat dan spanduk untuk aksi hari ini. Keren coy…SAVE THE WORLD WITH KHILAFAH. Impianku, ketika kubuka mata ini di pagi hari, aku telah memiliki KTP Khilafah State. Ngomong-ngomong masalah Khilafah, aku jadi inget sama si tengil A’yun, my honey bunny sweety baby. Adikku, yang ceriwis, tapi manis…hmmm…aku bangga sebagai abangnya. Masih SMA loch…tapi dia berani dan siap menjadi sosok REVOLTER.

Kami berdua kongkalingkong mencoba tuk membuat ngeh mommy sama daddy dirumah tentang ide penerapan Syariat Islam dengan metode penegakan Daulah Khilafah. Daddy hanya komentar, “Bisa dimakan nggak tuh Daulah Khilafah?” Kalo mommy malah skak mat diriku dengan statemen yang seperti biasa “ Wis nggak usah macem-macem, ngurusi masalah politik segala, apalagi tuh mendirikan kilapah…kilapah… Selesaikan dulu kuliahmu!”

Nah loh kena kau! Hmmm…Nakal juga ya. Udah semester sebelas nih…nggak lulus-lulus juga. Aaah…seharusnya nggak boleh ya, karena alasan dakwah, sekolah jadi keteteran. Malunya diriku.

ooOoo



Islam…tegakkan…

Syariat…terapkan…

Khilafah…dirikan…

Demokrasi…hancurkan…

Allahuakbar….Allahuakbar…

Pukul delapan pagi suara gema aksi damai menggaung di langit kota. Ratusan manusia berbaris rapi membawa plakat dan spanduk. Al-Liwa dan ar-Raya’ berkibar di angkasa. Niatan mereka bukan tebar pesona, tapi demi menyadarkan umat tentang kewajiban dan hak-haknya. Mengopinikan sebuah ide yang cemerlang. ISLAM IS THE ONLY SOLUTION.

Boim saat ini bertugas jadi security, cengar-cengir sama bapak-bapak polisi dan intel-intel yang keluyuran. Bekerjasama menjaga keamanan. Para wartawan juga ambil bagian, jepret sana jepret sini. Syut sana syut sini, tapi kok yang paling banyak di syut bagian akhwat sih? Syut opininya dong!

Boim melihat sang adik ikut teriak-teriak sambil mengacungkan kepalan tangannnya ke angkasa. Ok juga tuh! Allahuakbar! Lalu…crrrssss….deg-deg…deg-deg…Boim melihat sosok akhwat berjilbab biru kemaren malam. Waadduuuuh…gaswat. Ia lempar pandangan ke arah lain dan berusaha tuk melupakan sosok akhwat cantik yang telah mencuri hatinya sejak kemaren malam.

“Oooooiiiiii bro kenapa?” tanya A’yun menepuk kedua pipi abangnya. Poooong…Boim tersadar dari lamunannya. Boim pun memonyongkan bibirnya, maju tiga senti deh, tapi tetep cakep kok, nggak kalah cakep sama The Ape cover Aneka Satwa (he…he…he…)

“Sist…ayo kuantar pulang, sekalian ada yang ingin kubicarakan!” ajak Boim.

“Weeee….ada maunya nih!”

“Sist…tuh akhwat berjilbab biru dekat sama kamu tadi siapa?” selidik Boim sambil menyejajari langkah adiknya.

“Yang mana sih bro…yang berjilbab biru kan banyak!”

“Itu tuh, yang berjilbab warna biru langit polos…trus ada tahi lalatnya di dagu!”

“Yeeee…kok tau ada tahi lalat di dagunya. Di kemanain tuh pandangan. Kok ya sempet-sempetnya lirak lirik barisan akhwat!” protes sang adik.

Boim hanya cengengesan. “Boleh tuh…kenalin donk!”

“Tuh namanya mbak Ana. Cantikkan?” ujar A’yun.

“Agamanya bagus nggak tuh…gimana dakwahnya?”

“Emmm… Ana cari tahu dulu ya bro…boleh juga selera abang…!” goda A’yun

“Siiiip…!” ujar Boim sambil mengacungkan jempolnya.

A’yun merasa maklum dengan abangnya. Dia paham abangnya punya niat tuk menyempurnakan separuh agama…alias nikah…. Udah deh nggak pake lama…nggak usah pacaran…langsung tembak!

Hmmm…apa yang harus kukatakan sama ukhti Ana yaaa…perihal abangku yang ingin ta’aruf sama beliau. Sudah siapkah ukhti Ana untuk menerima dan menikah dengan abangku. Kulihat aktivitas beliau begitu padat. Kuliah, dakwah, kerja sambilan, bahkan sempat tercetus kemaren walau dengan nada bergaurau, beliau ingin menikah tapi nanti empat tahun lagi.

Waah…kelamaan tuh, tapi kucoba tuk pastikan. Hasilnya, setiap kali kutanya, beliau selalu diam, no comment. Sampai akhirnya abangku menulis sebuah surat untuk beliau. Tak tau tuh isinya apa…surat cinta kalee. Pingin liat ah, eh nggak boleh ya..tapi penasaran nih. Ah nggak jadi deh. Tiga hari kemudian ukhti Ana menitipkan sebuah surat, tipis banget, lebih tipis dibanding surat yang di kirim oleh abang tersayang. Hmmm…diterima atau ditolak ya? Bro and Sist…read the next story.

Assalamu’alaikum,

Ana sudah baca surat antum. Ana paham maksud antum, tapi ana nggak tahu apa yang harus ana lakukan. Sungguh, hal ini membuat ana terkejut dan sempat bingung. Tiga hari ana pendam masalah ini, dan cukup hanya Ana dan Allah yang tahu, apa yang Ana rasakan. Sebuah keputusan yang sulit bagi Ana, karena menikah bukan hal yang sembarangan. Ana bermunajat kepadaNya selama beberapa hari ini. Ana konsultasikan kepada orang yang lebih paham tenang hal ini. Keputusan Ana…afwan, Ana belum siap untuk menikah dalam waktu dekat. Orangtua Ana mengharapkan Ana melanjutkan kuliah ke luar negeri selama empat tahun, sekalian membantu ayah mengelola sebuah perusahaan di sana. Afwan…sungguh. Kalaupun kita berjodoh…insyaallah kita pasti bertemu. Kalaupun tidak, semoga Allah mengganti jodoh kita dengan yang lebih baik. Terima kasih atas perhatiannya selama ini. Hendaknya apa yang terjadi, tidak menjadikan kita jauh dariNya. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari semua ini. Afwan, keep istiqomah!

Wassalamu’alaikum.

ooOoo



Kota Batu, sore hari, di gubuk tengah sawah belakang rumah kontrakan, Boim membaca surat dari sang akhwat pilihan. “Kreteek..kreteek…praaaaak…hancur hatiku…mengenang dikau…!” senandung A’yun menggoda sang abang. “Ooohh…gadis berjilbab biru, teganya kau menolak Boim yang cakep ini!” sambungnya sambil mengelus pipi sang abang.

“Ayuuuun…sini kau!” Boim mencoba tuk mengejar sang adik.

“Hei bro, nggak usah patah hati lah. Tuh masih ada akhwat pake jilbab coklat putih!” teriak A’yun dari kejauhan.

“Manaaaa…!”teriak Boim.

“Tuuuuhhhh…emmmmoooooo!” goda A’yun sambil menunjuk sekumpulan sapi perah yang sedang merumput. Ha…ha…ha…ha…berakhirlah kisah cinta sang REVOLTER, walau garang di jalanan, REVOLTER juga manusia, punya rasa punya hati. Laa tahzan, bro

Sumber: Majalah SOBAT Muda, Edisi 16/Februari 2006

Kosmetik Sang Teroris

Kosmetik Sang Teroris
Kisah ini mengambil latar tempat di sebuah negeri dongeng. Negeri yang indah, eksotis, penuh dengan lanskap yang mengagumkan, memiliki iklim yang hangat sepanjang tahun. Negeri ini selalu dibincangkan oleh negara-negara lain dengan penuh kedengkian, bahkan beberapa bahkan berusaha memperebutkannya.

Penduduk negeri ini pun terkenl sopan, berbudi luhur, dan suka menolong. Tidak pernah ada kedengkian, prasangka, dan kebencian di antara mereka. Mereka selalu saling mengasihi satu sama lain, dan jika ada perselisihan, selalu diselesaikan dengan cara yang damai dan tidak merugikan bagi pihak yang berselisih.

Aku tinggal di negeri ini, dan entah kenapa aku merasa dua paragraf di atas memiliki anomali di setiap konotasi kalimat. Serasa seperti kebohongan atau semacamnya. Ah, tapi mungkin hal itu belum penting saat ini, karena aku ingin menceritakan fenomena besar yang sedang terjadi di negeri tercinta ini.

Di negeri dongeng, kini merebak sebuah virus berbahaya lagi mematikan. Virus ini telah meresahkan warga dengan marak terjadinya dan penyebarannya yang cukup menakutkan. Negeri dongeng memiliki alat kotak yang dapat memperkecil manusia dan memasukkannya kesana, dan sepertinya benda ajaib inilah yang semakin membuat sang virus makin terasa menakutkan. Benda ajaib tersebut telah menyebarkan virus yang ada tanpa masyarakat ketahui, sehingga benda itu menyihir penduduk negeri dongeng untuk berfikir bahwa bukan benda kecil itulah penyebar virus, melainkan sekelompok orang berpakaian putih yang ternyata memiliki buku ajaib. Nah, buku ajaib pun menjadi tersangka asal muasal penyebaran virus, sementara penduduk negeri dongeng pun akhirnya menuduh orang yang salah. Mereka tidak menyadari bahwa penyebar virus sebenarnya adalah sang kotak ajaib.

Hei, sebenarnya ada virus apaan sih? Virus mematikan ini disebut dengan ‘terorisme’!

Oke, cerita dimulai!

Suatu ketika, ada seorang wanita muda penduduk negeri dongeng yang berkelana dari kota kecilnya menuju kota besar yang dulu pernah menjadi pusat kerajaan negeri dongeng untuk menuntut ilmu. Karena tidak mungkin baginya untuk pulang pergi dari kota kecil ke kota besar tiap hari untuk menuntut ilmu dikarenakan jarak yang jauh, akhirnya si wanita muda pun memutuskan untuk menetap saja di kota besar. Wanita muda ini bernama Lily.

Tidak mudah menjalani hidup di kota besar, dimana para penduduknya saja sangat ramah, suka membantu, dan peduli satu sama lain. Bagi penggemar cerita dongeng, mohon maafkan aku, karena aku sedikit memiliki gangguan dalam menuliskan kata yang memiliki lawan kata, jadi mohon kata-kata pada kalimat sebelumnya diubah sendiri.

Tapi bagi Lily, masalah sebesar apapun tidak menjadi masalah baginya! Dia dapat menjalani hidupnya dengan penuh kebahagiaan meski jika seluruh negeri dongeng sedang sengsara. Dia selalu memiliki caranya sendiri dalam memandang kehidupan yang tidak mudah ini dengan kacamata tiga dimensinya. Dimensi pertama kenyataan, dimensi kedua khayalan yang menganjurkan solusi, dan dimensi ketiga adalah lapisan penyaringan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas sebuah alasan.

Jadi, dia pun dikelilingi orang-orang yang selalu berbuat baik padanya, dan belum pernah ada orang jahat yang pernah berusaha menyakitinya. Jikapun ada orang jahat juga ikut mendekatinya dengan alasan yang buruk, dia tidak segan-segan untuk menendang atau memukul penjahat itu dengan jurus-jurus mematikannya yang dulu pernah dipelajarinya di kota kelahirannya.

Suatu saat, Lily harus berhadapan dengan ancaman orang jahat. Dan yang lebih parah lagi, orang jahat itu membawa virus mematikan yang sedang mewabah di negeri dongeng!

ooOoo

Suasana ruang rapat tersebut tetap gerah, meski pendingin ruangan telah berusaha sebisanya untuk menurunkan derajat selsius suhu dalam ruangan. Semua peserta rapat tak ada yang berani berbicara sepatah kata pun, menyadari kasus yang sedang mereka tangani benar-benar merupakan hal yang tidak bisa diremehkan.

Di sebuah sudut, duduklah seorang lelaki berusia 30 tahun. Lelaki itu terus menggeram setiap kali pemimpin rapat menyelesaikan sebuah kalimat. Tampaknya dia sudah tidak begitu memperhatikan apa yang dibicarakan, namun dia sudah memikirkan rencananya ke depan.

Ya, aku harus memberi pelajaran yang beda dari yang lain. Aku tidak akan membiarkan teroris-teroris terkutuk itu menodai negeri dongeng tercinta ini, pikirnya.

Sampailah pada penjelasan pada ciri-ciri orang-orang berbahaya yang sedang dibicarakan, yakni para teroris. “Yang laki-laki, biasanya menggunakan pakaian rapi, aromanya wangi, kumis terpangkas dan janggut dipanjangkan, dan mereka menyukai model celana di atas mata kaki. Sementara yang perempuan, biasanya mereka menutupi seluruh bagian tubuhnya dengan pakaian besar dan berwarna gelap, beberapa bahkan menutupi wajah mereka.”

Begitulah setidaknya penjelasan yang lelaki itu dengar. Penjelasan yang lugas dan tanpa ampun memojokkan siapapun yang berani berdandan seperti itu.

“Kini, tugas kita adalah memata-matai setiap gelagat mencurigakan dari siapapun yang memiliiki ciri-ciri seperti tadi yang sudah disebutkan. Jika penyamaran kalian berhasil, dan gembong-gembong mereka bisa dibongkar sampai tuntas, maka pangkat kalian akan dinaikkan dan tentu saja gaji kalian akan semakin tinggi.”

Seluruh ruangan mendadak penuh dengan bisikan-bisikan setelah ‘kenaikan gaji’ dan ‘naik pangkat’ disebut-sebut.

Lelaki yang duduk di ujung tadi bernama Bambang, seperti nama raja di negeri dongeng. Dia baru saja bergabung di unit Usus 66, tangan penguasa negeri dongeng yang memiliki tugas membasmi setiap tindak terorisme sekecil apapun bentuknya, dan harus segera di-‘dor!’ jika ada yang terpergok sedang melakukannya. Dia masuk di bagian intelek kucing, bagian khusus yang suka memata-matai.

Bambang juga tertarik dengan tawaran itu, dan memang siapa sih yang tidak? Kenaikan gaji di negeri dongeng menjadi sesuatu yang sangat diimpi-impikan setiap orang.

Setelah rapat itu selesai, Bambang sudah tahu apa yang harus dilakukannya, dan itu sudah direncanakan sejak berhari-hari yang lalu. Dia berfikir menangkap yang perempuan itu lebih mudah. Jadi, dia akan menyamar menjadi tukang kosmetik!

ooOoo

Lily menghentikan langkahnya saat dia mendapati setangkai bunga berwarna kuning tersebut dijual di pinggir jalan oleh seorang ibu-ibu.

“Ini bunga apaan bu?”

Ibu itu awalnya terlihat terkejut. “Oh, ini bunga lili, cah ayu.”

“Kebetulan bener, dong bu, itu kan nama saya!”

Wanita muda berkerudung besar itu segera mengambil setangkai bunga lili, membayarnya dan segera pergi. Dia berjalan sambil terus mengamati bunga itu. Kira-kira, kenapa ya, nama gue bisa sama ama bunga yang cantik ini?, pikirnya.

Tiba-tiba, seorang pemuda menubruknya dari belakang dan menjatuhkan tas tangan dan bunga lili tersebut. Pemuda itu berhenti berlari dan segera membantu Lily bangkit dari jatuhnya. Namun, tangannya segera ditepis oleh wanita muda itu. “Hei, jangan sentuh-sentuh dong!”

Lily bangkit dengan jilbab dan gamisnya yang sudah terkotori di beberapa bagian.

“Kamu nggak papa?” tanya pemuda yang tadi menubruknya.

Pandangan Lily pun bertemu dengan pemuda itu. Dunia seperti berhenti beberapa detik saat Lily menatap mata teduh itu, mata milik seorang pria tampan dengan wajah bersih dan rambut ikal yang dipotong pendek.

“Hei, kamu nggak papa?”

Lily tergagap. “A-aku… Lily.”

Apa yang diucapkan Lily barusan benar-benar tidak ada hubungannya dengan pertanyaan pemuda tampan itu. Lily kemudian menyadarinya dan segera mengucapkan istighfar. Astaghfirullah, pandangan pertama itu rezeki, tapi setelahnya…

Lily segera mengalihkan matanya dari sepasang mata teduh tersebut, dan pemiliknya hanya tertawa renyah. “Kamu itu lucu, ya… Barusan aja aku…”

“COPEEEEEEEETT!!!!”

Tiba-tiba segerombolan orang yang dikuasai emosi menyerbu ke arah mereka berdua  dari arah datangnya pemuda tampan tadi.

Lily kemudian menyadari apa yang sedang terjadi. “Ka… kamu??”

Pemuda itu tersenyum nakal, mencubit pipi Lily kemudian segera berlari meninggalkan Lily yang bingung sekaligus marah. Enak saja asal pegang pipi orang! Tapi tunggu, dia itu copet?

Pipi gue dicubit copet! Gue nggak terima!!!

Lily menyambar tas tangannya yang masih terjatuh di tanah, dan segera berlari menyusul gerombolan orang yang sedang mengejar pemuda tadi. Tidak butuh waktu yang lama bagi Lily untuk mengejar gerombolan orang tersebut, kemudian mendahului mereka. Orang-orang pengejar yang mulai lelah itu mulai melambat larinya, dan mereka pun segera menyemangati Lily yang berlari dengan sangat kencang. Luar biasa!

“Neng ninja! Neng ninja! Neng ninja!”

Sorakan-sorakan penyemangat itu butuh sedikit revisi!, pikir Lily gemas sembari terus mengencangkan larinya. Pemuda tampan itu mulai terkejar, dan dia berteriak. “Lily, orang-orang itu hanya salah paham.”

Oke, mereka salah paham, tapi kenapa pakai cubit-cubit pipi segala?

Dalam waktu singkat, Lily sudah berjarak satu meter dari pemuda tampan itu, dan kini dia melompat…

BRUKK!!!

Terdengar sorak sorai senang dari arah belakang, dan sesekali terdengar orang-orang mengelu-elukan Neng Ninja!

ooOoo

Di negeri dongeng, selain virus terorisme, juga sedang marak menyebar sebuah virus yang lebih ringan dari terorisme, namun dapat menjadi induk dari virus teror tersebut. Virus ini awalnya hanya menyebar di kalangan anak muda saja, namun lama kelamaan virus ini tanpa ampun juga menjangkiti kalangan dewasa, tua, sampai kakek nenek. Bahkan, sudah banyak kaki tangan raja negeri dongeng yang ikut terjangkit virus ini, termasuk sebagian besar anggota Usus 66.

Dan virus tersebut, menurut data yang diperoleh dari Pusat Laboratorium Kesehatan Negeri Dongeng, memiliki kode Le8@Y. Kita kembali ke cerita, yuk!

“Emang udah berapa lama sih lu mengamati dia dari sini?”

“Tiga hari tiga malam.”

“Terus kita ngapain dong tiga hari tiga malam?”

“Ih, tolol lu ya, kaya iklan aja! Gua kan cuma bercanda! Gua memang udah mengawasi dia selama tiga hari, tapi nggak sampai malam-malam juga, lagi. Dan gua malah makin yakin kalau dia itu masuk cabang jaringan Baba!”

Baba adalah nama sekelompok militan yang membentuk persatuan terorisme yang bernama Baba. Nama Baba sendiri diambil dari Abu Baba yang konon menjadi ketua persatuan terorisme ini.

Bambang kembali melihat jam tangannya. “Tunggu sebentar lagi.”

“Perasaan lu dari tadi ngomong gituan terus?”

“Itu dia!” seru Bambang.

Kedua sosok yang bersembunyi di balik pohon itu mengamati sosok wanita muda yang muncul dari kelokan sebuah gang. “Itu orangnya?”

Bambang mengangguk.

Teman Bambang itu tercenung sejenak melihat sosok yang berjalan anggun tersebut. Wanita muda itu tampak sangat cantik, dengan gamis panjang dan jilbab besarnya yang semua berwarna ungu gelap. Sesekali pakaian serba panjangnya itu tertiup angin dan membuatnya melambai-lambai seolah wanita muda itu sedang berjalan di awang-awang.

“Hei, To! Malah melamun! Itu tuh, orangnya!”

Ito terkejut dengan teguran Bambang. “Eh, iya! Sayang ya, Bang, cantik-cantik gitu kok teroris. Tapi, apa lu yakin nggak salah orang?”

“Mana mungkin gue salah orang! Kemarin, gue lihat dia menghajar copet dengan sangat cepat, ngalahin orang-orang yang juga ikut ngejar tuh copet. Pasti tuh cewek udah pernah ikut pelatihan di Iraq atau sebagainya!”

“Ah, ngaco lu! Siapa juga bisa ikut latihan silat gratis di pendapa! Tapi serius nih, gue malah jadi penasaran sama kosmetik yang dia pakai.”

“Hah?!”

“Iya, maksud gue, come on! Lu juga pasti lihat kalau wajahnya tadi itu seolah… glowing gitu, lah. Seperti bercahaya!”

“Ah, itu mungkin mata lu aja yang lagi eror. Tapi lu pasti yakin kalau dia itu teroris sejati dengan adanya ini.”

“Emang lu punya apaan?”

Bambang kini tersenyum menang, lalu mengeluarkan sebuah tape perekam dari tas besarnya.

“Apaan tuh?”

“Ini apa, lu pasti udah tahu. Tapi isinya? Ini bukti kalau dia itu teroris, anggota asli komunitas Baba!”

Bambang menekan tombol play, dan kejadian kemarin pun kembali dia putar.

ooOoo

Lily yang berhasil meringkus seorang copet tampan pulang dengan dua perasaan. Perasaan pertama, tentu saja marah, karena pemuda sialan itu sudah mengotori baju dan kerudungnya, dan yang lebih parah lagi, dia sudah berani memegang pipinya!

Perasaan kedua: tentu saja senang, karena dendamnya telah berhasil terbalaskan, dan entah apa yang dilakukan oleh massa yang marah itu, dia tidak begitu peduli. Siapa suruh jadi copet?

Oh, kejamnya aku…

Lily tidak menyadari, seseorang tengah mengawasinya dari balik pepohonan.

Lily segera melupakan kejadian tadi dan pergi masuk ke rumah kos-nya yang masih sepi. Selain dirinya, belu ada penghuni kos lain yang sudah pulang kuliah. Lily sedang hendak masuk ke dalam kamarnya, ketika tiba-tiba pintu bel berbunyi.

Ting.. tong…

Lily menggerutu sejenak. Ah, belum lagi bajuku bersih! Tapi kemudian, dia mendesah keras. Astaghfirullah, kenapa aku terlalu emosi, ya?

Saat Lily membuka pintu, dia melihat seorang lelaki berusia 30-an sedang tersenyum. Lelaki itu menggunakan baju kotak-kotak dan celana jins. Sebuah tas besar tergantung di bahunya, dan dia menyapa Lily hangat. “Selamat siang, nona manis!”

Sssst… Dia itu Bambang!

“Mau cari siapa?” Lily memang tidak suka basa-basi.

Bambang bengong sebentar mendapati dirinya ditusuk langsung dengan pertanyaan yang singkat. Dia galak, ini persis dengan sikap teroris!

“Ah.. eh… Saya kemari hendak menawarkan kepada Anda produk kosmetik kami.”

Dengan wajah yang masih datar, Lily menjawab, “Sory, gue nggak pakai make up!” Dia sudah menggerakkan pintu menutup, namun tangan Bambang segera menghalangi pintu itu.

“Eh…” Lily membuat ‘eh’ panjang yang terdengar sangat berbahaya.

Bambang bertahan. “Setidaknya, lihat dululah produk-produk saya, baru komentar.” Dan tanpa diminta, Bambang segera menurunkan tas-nya yang tampak berat itu dan segera mengeluarkan isinya.

Kini wajah Lily seperti tokoh cewek di anime Jepang yang sedang merengut bosan. “Jangan lama-lama, ya, bang.”

Bambang segera memulai presentasi kecil-kecilannya dengan wajah dan badan yang mulai berkeringat, sementara Lily mulai menguap bosan beberapa kali.

“Mbak, apa sebaiknya di dalam aja, ya? Di sini panas banget, sih…”

“Nggak bisa! Ntar gue ma lu berkhalwat lagi.”

“Bergulat?”

“Ngaco lu! Berkhalwat, menyendiri di tempat sepi!”

Bambang hanya mengangguk-angguk, berpura-pura bahwa dia mengerti apa yang sedang dibicarakan Lily. Bambang pun segera menyelesaikan presentasinya kemudian bertanya pada Lily. “Gimana mbak, apakah Anda tertarik?”

Lily tersenyum menyakitkan kemudian berkata, “Sory lagi, tapi gue nggak pernah pernah pakai make up.”

“Tu-tunggu mbak, tapi mbak pakai sampo, sabun, atau sebagainya, kan?”

“Iya, emang kenapa?”

“Sabun merk apa yang Anda gunakan?”

Dengan entengnya, Lily menjawab, “Sabun Baba.”

Bambang tercekat. Oh tidak, aku memang tidak salah orang. Cewek ini pasti anggota teroris itu! Bambang meraba saku celananya, memastikan alat perekam suara masih berputar.

“Dan… sampo?”

“Sampo Baba. Eh, ngapain sih lu perhatian banget, sampai pakai nanya-nanya tentang alat mandi gue?”

Bambang kini tidak tahu apa yang harus dia katakan. “Am… eh… Gini mbak. Akhir-akhir ini kan banyak beredar produk-produk palsu. Nah, mm… mbak harus hati-hati kalau pakai sampo atau sabun, soalnya produk-produk itu hanya merusak tubuh mbak…”

Lily menatap sales aneh itu dengan tatapan yang sama, cewek anime yang sedang bosan minta ampun. “Kok lu mendadak jadi perhatian ma gue?”

Bambang kini mulai tidak sabar. Gue nggak mau dipermainkan sama teroris! “Saya takut kalau mbak bisa membahayakan warga negri dongeng! Dari pakaian karung mbak, saya saja sudah tahu kalau mbak ini teror…” Ups, Bambang sudah keceplosan!

Wajah lucu Lily kini berubah menjadi wajah seram khas tokoh zombie di film Hollywood. “Oh, gitu ya! Jadi lu sengaja mau mata-matain gue, nuduh gue sebagai teroris, hanya gara-gara jilbab gue yang gede?”

Lily mulai melepa sepatu ketsnya.

Bambang segera menangkap situasi dan dia tahu apa yang hendak dilakukan Lily. Dia segera membereskan barang-barangnya lalu pergi melarikan diri.

“Ke laut aja lu!!!” Lily berteriak marah sambil melemparkan sepasang sepatunya pada Bambang yang lari tunggang langgang, takut jika seandainya cewek itu tiba-tiba meledakkan dirinya. Gue belum mau mati!

ooOoo

Ito tertawa keras-keras mendengar rekaman suara itu sekaligus penjelasan yang dibuat oleh Bambang.

“Lu gokil banget, men! Lagian, cewek semanis itu lu lukain hatinya, ya pasti bakalan marah, dan nggak begitu saja menunjukkan bahwa dia itu teroris!”

Bambang hanya memandang kawannya sewot. Bukannya bersimpati, Ito malah meledeknya. “Lu sengak banget sih?”

“Sori, sori Bang, gue cuma lucu aja denger lu sekonyol itu!”

“Oke deh, lu boleh ngeledekin gue, tapi cari solusi dong!”

“Oke, gue punya cara yang lebih ampuh dari cara lu.”

“Ah, masa?”

“Check this out,  baby!”

Dengan percaya diri, Ito bergegas menuju rumah kos tersebut, meninggalkan Bambang yang terpaku tak percaya di tempatnya berdiri.

“Serius, lu?” teriak Bambang, namun Ito tampaknya sudah tidak menghiraukan sahabat sekaligus rekan kerjanya tersebut.

Ito menghampiri ruma kos tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Seorang wanita muda tampak membukakan pintu, dan seperti Bambang, nampaknya Lily tidak membiarkan Ito masuk. Lily dan Ito tampak berbicara santai, dan pembicaraan mereka cukup panjang. Bahkan, sesekali perbincangan mereka dibarengi dengan gelak tawa. Setelah itu, Lily tampak menyerahkan sebuah kertas yang baru saja disobeknya dari bukunya, mengatakan sesuatu pada Ito, kemudian pembicaraan berakhir. Lily pun menutup pintu, dan Ito kembali ke pohon dimana Bambang bersembunyi.

Bambang mengamati semua itu dengan perasaan heran. Apa sebenarnya mereka bicarakan?

Tiba-tiba saja, Ito sudah berada di hadapan Bambang. Dia memukul jidat Bambang dengan kertas Lily yang sudah digulung. “Bangun, dong!”

“Eh. Iya. Lu bicara apa ma wanita muda itu?”

“Namanya Lily. Orangnya manis, sedikit berani, namun menjaga jarak sama cowok. Bener-bener tipe gue.” Ito berkata sambil menerawang.

“Kok lu malah fall in love gitu sih?” tanya Bambang sewot.

“La aja yang suka ngeres and berperasangka buruk. Asal lu tahu ya, Lily itu tipe cewek yang baik hati. Caranya berpakaian aja udah bikin dada ini ayem. Pokoknya there’s something special with her, lah! Dan asal lu tahu aja, Baba itu…”

“Ya, kan? Dia anggota komunitas terorisme itu?”

“Baba itu temennya, tolol! Jadi dua hari terakhir, dia terpaksa harus pinjem sampo dan sabun cair punya Baba temennya, soalnya dia belum dikirim uang sama orangtuanya. Gadis yang malang, dan elu bisa-bisanya berprasangka buruk sama dia?!”

Bambang hanya bisa dibuat bengong.

“Oh, dan ternyata, kosmetik yang dia pakai bener-bener spesial bin istimewa.” Ito menyerahkan kertas itu pada Bambang kemudian ngelonyor pergi. “Gua cabut duluan, ya!”

Bambang membuka gulungan kertas yang diserahkan Ito dengan penasaran.

Rahasia Kecantikan Terindah

Gunakanlah sabun hijab, yang melindungi seluruh tubuh dari kuman para lelaki yang selalu memandang

Haluskan rambutmu dengan sampo kerudung, yang melindungi dari sengatan pandangan hidung belang yang berbahaya

Hiasilah wajahmu dengan bedak menundukkan pandangan, yang mencegah dari tatapan yang tidak berhak

Pakailah lip gloss dzikir, membasahi bibirmu dengan air yang takkan tersentuh jilatan api neraka

Semakin percantik dirimu dengan sunblock iman, yang melindungimu dari perbuatan maksiat dan melanggar perintah Tuhan

Dan gunakanlah lipstik kejujuran, buah kemanisan di setiap langkahmu berjalan.

Cerpen karangan : Hawari, Santri Pesantren MEDIA

Bingkisan Cinta Untuk Kakak

Bingkisan Cinta Untuk Kakak
“Bukankah sudah aku katakan aku dan ibu baik-baik saja di sini. Kau tak percaya padaku? Kau ini saudaraku atau bukan?” ujar seorang lelaki dari kejauhan.
Ia terdiam sejenak. Ia tahu benar lelaki yang sedang berbicara dengannya tak pernah ingin membebani dirinya. Walau sesulit apapun ia pasti akan mengatasi dan berusaha untuk menyimpannya sendiri. Itu yang malah membuatnya merasa terbebani. Ia merasa, banyak hal ia yang ia rebut dari lelaki itu.
“Baiklah! Aku percaya padamu. Kau jaga ibu baik-baik. Jangan sungkan, katakanlah jika kau membutuhkan sesuatu. Bukankah kau saudaraku? Sesekali repotkan aku.” ujarnya pula.
“Hmmtt.. akan ku buat repot kau suatu saat.”
Ia meletakkan handphonenya. Tersirat rasa bersalah di wajahnya. Ia meraih foto yang terletak di meja mungil di sudut ruang kostnya yang sempit. Memandang lekat-lekat wajah yang tersirat dalam foto itu.
“Aku tak akan mengecewakan kalian.”

FlashBack.
“Bagaimana? Kau diterima?” ujarnya.
Lelaki di hadapannya tersenyum sambil mengangguk. Ia memeluknya. Lelaki itu sadar akan sesuatu dan segera melepas pelukkan saudara kembarnya itu.
“Bagaimana denganmu?”
Ia tak menjawab. Ia berhambur lagi ke dalam pelukan lelaki itu. Lelaki yang sedang dipeluknya pun merasa bingung dengan sikapnya.
“Heiii.. Aku bertanya pada mu. Mengapa kau tak menjawab? Kau tak lulus? Hah.. Sudah ku katakan, jangan takabur. Bekal apa yang akan kau bawa untuk mengikuti test masuk ke universitas favorit di negeri ini, ha?”
Ia tak menjawab. Ia tampak mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyerahkannya kepada saudara kembarnya itu. Lelaki itu meraih sebuah amplop yang kini berada di hadapannya. Perlahan ia membuka amplop itu. Matanya seketika terbelalak, merasa tak percaya dengan apa yang ia baca pada isi amplop itu.
“Fakultas kedokteran? Benarkah kau lulus di fakultas kedokteran universitas itu?” ujar lelaki itu merasa tak percaya.
Ia mengangguk dan kembali memeluk lelaki itu.
“Luar biasa! Kau hebat Galuh! Ayo kita pulang. Ibu dan ayah akan senang mendengar kabar baik dari kita.”
Mereka berjalan bergandengan tangan. Dengan wajah sumringah, mereka tersenyum satu sama lain di sepanjang perjalanan pulang menuju kediaman mereka.
Tapi senyum itu mememudar seketika, ketika mereka melihat bendera merah berkibar di depan rumah mereka. Mereka saling menatap. Apa yang sebenarnya terjadi? Hanya pertanyaan itu yang terlintas dalam pikiran mereka. Mereka berlari. Kedua tubuh itu jatuh bersamaan, ketika melihat sosok yang begitu mereka sayangi kini tengah terbujur kaku di antara kerumunan orang banyak. Terlihat seorang wanita paruh baya kini duduk tersandar di sebelah lelaki yang sedang terbujur itu. Sosok lelaki hebat yang selalu mereka banggakan kini tak ada lagi. Hanya kenanganlah yang kini tersisa.

“Aku akan batalkan kepergianku. Jika kita berdua pergi, siapa yang akan menemani ibu? Aku akan tetap di sini bersama ibu. Kau saja yang lanjut ke perguruan tinggi. Tak mungkin keduanya bisa melanjutkan ini, pensiunan ayah tak akan cukup untuk membiayai kita. Tak apa bagiku, lagian aku ini perempuan. Toh, kelak aku akan menikah dan suami ku yang akan membiayai seluruh kebutuhanku. Sementara kau? Kau lelaki. Kau kelak akan beristri dan kau adalah kepala keluarga, kau harus memberikan kehidupan yang baik untuk istri dan anak-anakmu kelak.”
Ia menghampiri saudara kembarnya yang tengah duduk berdampingan dengan ibu mereka. Ia duduk di antara mereka berdua. Merangkul wanita yang kini terlihat tak memiliki semangat hidup sama sekali. Lelaki itu tampak memikirkan sesuatu, terlihat dari mimik wajahnya dan matanya yang mengabaikan saudaranya yang kini sedang berbicara padanya.
Lelaki itu memeluk pundak saudara kembarnya itu.
“Kau pergilah. Aku akan batalkan kuliah ku di universitas negeri itu.”
“Galih! Berhentilah berkorban untuk ku. Ini demi masa depan mu. Cobalah sedikit saja pikirkan tentang dirimu. Sudah aku katakan aku tak apa-apa.” Ujarnya sedikit marah.
Lelaki itu menariknya ke dalam pelukannya, membelai lembut rambut gadis itu.
“Aku akan memikirkan masa depan ku. Aku ini laki-laki dan kau adalah saudara kembarku. Jika sukses itu terjadi, maka kita harus merasakannya bersama-sama. Aku akan kuliah, walau tak di universitas negeri. Aku akan kerja paruh waktu untuk membiayai kuliah dan ibu. Dan kau, kau bisa pakai uang pensiunan ayah untuk biaya kuliah dan biaya hidupmu di sana. Jadi pergilah dan buat kami bangga.”
Ia melepas pelukan lelaki itu. Tampak kini air mata sedang membasahi pipi mulusnya. Wanita paruh baya yang kini sedang menyaksikan pemandangan itu pun menitikan air mata. Betapa bangganya ia, melihat kedua malaikat kecilnya kini telah tumbuh menjadi sosok yang benar-benar dewasa. Wanita itu bangkit dan merangkul kedua buah hatinya itu.
“Kalian sudah benar-benar dewasa. Ibu sangat bahagia karena memiliki anak seperti kalian berdua.”
flashback End.

“Galih! Sudah aku katakan, berhenti mengirimi ku uang. Aku sudah cukup mengumpulkan uang dari kerja paruh waktu ku di rumah sakit. Lagi pula aku akan segera lulus dan kembali kesana. Pikirkan kuliahmu. Apa kau tak ingin segera lulus? Kau ingin selalu berada di bengkel itu dan bergelut dengan mesin-mesin itu. Pekerjaanmu bahkan tak sesuai dengan ilmu hukum yang kau ambil?”
Emosinya memuncak. Sementara lelaki yang sedang diteleponnya itu sama sekali tak bergeming dari kejauhan sana. Sesaat mereka dua terdiam. Airmata kini tak terbendung lagi dari mata indahnya. Tangannya menggenggam erat amplop yang berisikan uang dari saudaranya itu.
“Setelah ini apa lagi? Bahkan handphone yang sekarang aku genggam ini juga hasil keringatmu. Aku akan kembalikan uang ini.” Ujarnya menahan tangis.
“Galuh, jangan lakukan itu. Aku ingin kau cepat lulus. Bekerja dengan tetap. Aku ingin kau segera kembali. Aku begitu merindukanmu. Mungkin uang itu adalah uang terakhir yang bisa aku berikan padamu.” Ujar lelaki itu pelan.
Ia tersentak begitu mendengar ucapan dari saudaranya itu.
“Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya tejadi? Sudah aku katakan, jangan sungkan untuk berbagi cerita padaku.” Suaranya bergetar.
Lama lelaki itu terdiam. Sementara ia? Ia tak kuasa menahan rasa penasaran yang kini bersarang di benaknya.
“Galih?” Ujarnya sedikit meninggikan suaranya.
“Maaf Galuh! Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf baru mengatakannya sekarang. Aku kehilangan kaki kananku, ketika aku mengalami kecelakan. Waktu itu aku mengambil alih pekerjaan temanku yang seorang supir taksi. Aku mengendarainya di luar kendaliku. Maafkan aku. Aku tak melakukan yang terbaik untuk mu. Aku tak bergunakan?” Lelaki itu terisak.
Tubuhnya gontai. Ia terduduk di lantai. Hatinya perih. Sungguh besar pengorbanan saudara kembarnya itu untuknya agar terus bisa maju melanjutkan kuliahnya. Ia menangis sejadi-jadinya. Memukul-mukul kedua telapak tangannya ke lantai, untuk menahan sesak di dadanya.
“Kau keterlaluan galih. Kau sungguh keterlaluan. Kau pikir aku ini siapa ha? Aku adikmu. Saudara kembarmu. Kenapa kau bersikap seolah-olah aku ini bukan siapa-siapa untukmu. Sudah aku katakan berkali-kali berhentilah berkorban untukku. Aku hanya menjadi beban bagimu. Sekarang apa yang kau dapat dari pengorbananmu? Aku yang tak berguna bukan kau. Sadar lah Galih. Aku tak butuh apapun dari mu. Aku hanya ingin kau selalu ada di sisiku. Dengan begitu aku bisa menghadapi semuanya, walau itu sulit bagiku. Tapi berkat kau aku bisa menerjang semuanya.”
“Aku tahu itu. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untukmu. Maafkan aku.”
Isak tangisnya tak tertahan. Suara tangisnya begitu keras. Beberapa teman satu kostnya melongo ke ruangannya untuk melihat apa yang terjadi padanya.
“Baiklah. Kali ini aku yang akan melakukan yang terbaik untukmu. Aku akan segera lulus dan aku sendiri yang akan merawatmu.”



Seorang lelaki tengah mengayuh kursi rodanya menuju pintu. Seseorang mengetuknya dari luar. Tampak seorang petugas POS berdiri sambil menyerahkan sebuah bingkisan. Lelaki itu meraih bingkisan itu dengan wajah bingung. Ia merasa tak memesan apapun dari siapa pun.
Lelaki itu membuka amplop yang melekat pada bagian atas bingkisan.
Lelaki itu terdiam, ketika membaca satu kalimat singkat yang sangat menggugah jiwanya “TERIMA KASIH UNTUK CINTAMU KAKAK”. Ia membuka bingkisan dan meraih isi dari bingkisan itu. Ia menyerngitkan dahinya, merasa tak paham dengan maksud dari isi bingkisan itu. Dua buah toga.
“Aku telah membuktikannya bukan?”
Terdengar suara seseorang yang sangat dikenalinya. Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke orang itu. Seseorang yang sangat ia rindukan kini tengah berdiri di hadapannya lengkap dengan atribut kedokteran yang telah dicapai. Saudara kembar yang terpisah dengannya sejak lima tahun yang lalu.
Wanita itu berlutut dan berhambur ke dalam pelukannya. Isak tangis keduanya beradu.
“Kau kembali?” Ujar lelaki itu sembari melepas pelukannya.
Ia mengangguk sembari tersenyum. Kedua telapak tanganya memegang pipi lelaki itu. Ia tampak begitu merindukan sosok saudara kembarnya itu.
“kenapa ada dua?” Tanya lelaki itu sambil mengangkat bingkisannya.
Ia menggenggam erat tangan orang yang benar-benar dicintainya itu.
“Satu milikku. Dan yang satunya milikmu Pak Pengacara.” Katanya tersenyum
Lelaki itu tertunduk, ia tampak menitikkan air mata.
“Heii.. Kau cengeng Galih. Kenapa begitu saja menangis. Aku kan sudah katakan aku akan melakukan yang terbaik untukmu.”
Lelaki itu tetap tertunduk. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia meraih tangan lelaki itu. Menggenggamnya erat.
“Aku mencintaimu Kakak. Terima kasih untuk cinta yang telah kau berikan untukku selama ini.” Ujarnya seraya mengangkat wajah lelaki itu dan mengecup lembut pipinya.
Lelaki itu membalas dengan memeluknya. Mereka saling memeluk, hingga lelaki itu melepas pelukkannya.
“Kau begitu kurus. Kenapa seperti ini? Kau terlihat sangat jelek. Mana ada wanita yang melirikmu, jika kau sepert ini..” Katanya tersenyum seraya memegang erat lengan lelaki itu. Airmatanya jatuh. Tak kuasa menyaksikan keadaan kakak lelakinya itu.
“Aku ingin makan sesuatu yang lezat.” Balas lelaki itu.
Ia melepas pegangan tangannya dari lengan lelaki itu.
“Apa? Aku baru saja sampai. Kau juga tak membalas ucapan ku tadi. Kau merepotkanku saja.” Ujarnya mencibir lelaki itu.
“Ucapan yang mana?” timpal lelaki itu lagi.
Ia menaikkan sebelah alisnya. Menatap lekat lelaki itu.
Lelaki itu tersenyum.
“Kan kau yang memintaku untuk merepotkanmu. Dan sekarang aku memenuhinya. Jodoh di tangan tuhan sayang. Yang ku butuhkan saat ini adalah kau. Kaulah wanitaku.” Lelaki itu tersenyum.
Ia tersenyum mendengar penuturan dari saudara kembarnya itu. Ia meraih tangan lelaki itu dan berusaha membantu lelaki itu untuk berdiri.
“Baiklah. Tapi sebelumnya, kau harus membalas ucapanku terlebih dahulu.”
Lelaki itu menggeleng. Ia berbalik karena merasa kesal. Tetapi lelaki itu meraih tangannya.
“Kau membantuku berdiri. Tapi kau mau meninggalkanku. Bagaimana mungkin aku bisa berdiri dengan satu kaki.”
“Bukankah kau bilang kau mau makan? Aku akan memasakkanya untukmu.” Ujarnya kesal.
Lelaki itu memeluknya.
“Aku juga mencintaimu adikku. Terima kasih untuk bingkisan cinta yang kau kirim. Asal kau tahu, aku tak membutuhkan itu. Aku hanya butuh kau, karena kau begitu berartinya untukku. Terima kasih karena telah menjadi saudara kembarku. Aku mencintaimu.”
Ia tersenyum. Pelukkan itu kini terasa semakin erat, seolah mereka tak rela untuk terpisahkan lagi. Sementara dari balik jendela, seorang wanita tua tengah menatap mereka dengan senyum yang mengembang di wajahnya yang kini tampak keriput.

The End..!!!

Cerpen Karangan: Thia Mardianti
Facebook: https://www.facebook.com/thiian.thiian

Impian Seorang Gadis Miskin

Impian Seorang Gadis Miskin
“Hari ini kita akan membahas tentang impian.” Ucap bu Tya, guru Bahasa Indonesiaku.
“Tuliskan apa impian kalian serta beberapa alasan kenapa kalian ingin menjadi seperti itu pada satu lembar kertas. Mengerti?”
Kami semua mengangguk. Satu hal yang muncul dalam pikiranku, menjadi seorang penulis. Menjadi seseorang yang akan dikenal banyak orang, yang akan dikenang banyak orang karena karya-karyanya. Pasti menyenangkan.

Aku ingin menjadi penulis.

Alasanku menjadi seorang penulis; Pertama, karena menurutku, menulis sangat menyenangkan. Kedua, aku bisa meluapkan perasaanku lewat rangkaian cerita, perasaan yang mungkin tidak bisa aku ungkapkan pada kebanyakan orang. Ketiga, aku ingin hasil karyaku dijadikan sebuah buku. Alangkah bahagianya jika aku bisa melihat hasil karyaku berjejer rapi di rak beberapa toko buku terkemuka. Intinya, menjadi seorang penulis adalah impian yang harus aku wujudkan! Tidak peduli bagaimana keadaanku sekarang, aku akan terus berjuang meraihnya.

Cukup. Aku tersenyum puas dengan tulisan yang ada di selembaran kertas ini. Penulis … Suatu saat, semua itu akan terwujud. Setelah selesai, aku segera mengumpulkan kertas itu pada Bu Tya.

Keesokan harinya, saat bu Tya kembali memasuki kelasku, beliau membagikan lembaran-lembaran yang berisi impian itu pada kami.
“Aliya.” Ucap bu Tya.

Dengan senyum yang lebar, aku berjalan menghampiri beliau, dan mengambil selembar kertas milikku. Tapi, alangkah terkejutnya aku saat melihat sebuah tulisan dengan tinta merah di bawahnya.
“Impianmu terlalu tinggi. Ingat, kamu hanya anak seorang pemulung, mana mungkin bisa menjadi seorang penulis terkenal?” aku menelan ludah dengan susah payah. Aku pandangi wajah guru yang sebelum ini sangat aku hormati. Begitukah beliau? Pantaskah seorang guru merendahkan impian sang murid? Tidak pantaskah seorang anak pemulung sepertiku memiliki cita-cita sebagai seorang penulis?
“Sebaiknya kamu ganti saja pola pikirmu. Kamu ada di antara orang-orang yang tidak mampu. Sekolah saja tanpa biaya, mana bisa membayar mahal untuk menerbitkan buku?” ucap Bu Tya, yang lagi-lagi merendahkanku.

Dengan penuh emosi, aku memukul meja di hadapanku keras, lalu berjalan ke luar dari ruangan kelas. Aku tidak butuh guru seperti itu!
“Lihat saja, suatu saat nanti, aku akan membuktikan bahwa aku bisa menjadi seorang penulis! Anak miskin sepertiku akan sukses menjadi penulis!”

Ya, aku memang terlahir di antara puluhan, bahkan ratusan manusia yang kurang beruntung. Tinggal di pinggir sungai, tidak memiliki rumah mewah, tidak punya barang-barang yang bagus, dan semua serba biasa. Sangat biasa. Beginilah hidup di Ibu Kota. Tidak banyak orang yang peduli dengan orang-orang sepertiku. Mereka hanya melihatku dengan sebelah mata. Alasannya karena mereka tidak pernah menjadi aku! Menjadi gadis berumur enam belas tahun yang harus bekerja keras untuk sesuap nasi, tinggal di sebuah gubuk di samping hotel berbintang, berteman dengan sampah dan aroma menyengatnya, juga hidup dalam rasa was-was apabila sungai meluap, aku harus pergi untuk sementara karena rumah kecilku tenggelam.

Hidup sebatang kara di Ibu Kota memang tidak mudah. Kalian pasti bertanya “di mana orangtuamu?” jawabannya adalah; kedua orangtuaku pergi. Entah di mana mereka sekarang, masih hidupkah, masih ingatkah padaku, kenapa mereka tega membuangku saat aku bayi, dan … Terlalu banyak tanda tanya yang selama ini belum aku pecahkan jawabannya.

Aku tidak pernah berniat untuk mencari kedua orangtuaku. Mungkin saat ini mereka sudah bahagia, tanpaku tentunya. Kadang, aku merasa takdir tidak pernah adil. Kenapa harus aku yang merasakan semua ini? Kenapa aku tidak bisa merasakan kasih sayang orangtua? Kenapa aku hanya bisa merasakan susahnya berjuang di tengah hiruk-pikuknya Ibu Kota? Sedangkan aku ingin seperti mereka. Hidup layak, makan tiga kali sehari, bersekolah yang tinggi, memiliki banyak impian, memiliki rumah yang besar, memiliki kedua orangtua yang amat menyayanginya, memiliki banyak barang mewah, dan banyak hal lainnya.

Tapi aku selalu sadar. Perjalanan hidup semua orang tak pernah sama. Inilah perjalanan hidup yang harus aku jalani. Aku hanya perlu berjuang lebih keras lagi, jika ingin cita-citaku tercapai. Aku tidak bisa seperti mereka, yang dengan santainya meminta uang pada kedua orangtua untuk membeli barang-barang yang tidak penting, pergi ke sana-kemari dengan supir pribadi, malas bersekolah karena dia tahu, kedua orangtuanya kaya, jadi dia tidak perlu bersusah payah, dan banyak hal lain yang biasa orang-orang kaya lakukan. Dan soal perkataan bu Tya tadi, aku berjanji akan membayarnya lunas dengan kerja kerasku yang akan menjadikan aku seorang penulis! Tidak ada yang boleh mengejekku! Tidak ada yang boleh merendahkan impianku! Akan aku buat semua orang yang meremehkanku menyesal telah melakukan itu padaku! Aku berjanji!



Sepulang dari menjual barang-barang rongsokan, aku segera pulang dan mulai menghitung uang hasil penjualan hari ini.
“Seribu … Dua ribu … Ditambah dua puluh ribu, ditambah sepuluh ribu.” Aku menghela napas puas.
“Alhamdulillah, tiga puluh tiga ribu.” Dengan cepat aku pergi menuju Bang Joko, penjual majalah di dekat rumahku.

“Bang, beli majalah terbaru yang ada audisi lomba nulis cerpen.” Ucapku saat bertemu Bang Joko di lapaknya.
“Waduh … Majalah apa ya, Al? Abang nggak pernah buka-buka majalah, sih.” Jawab Bang Joko. “Tumben cari majalah yang begituan, Al?”
“Iya nih, bang. Aku pengen ikutan lomba cerpen gitu. Siapa tahu aja menang terus beneran jadi penulis terkenal.”
“Wah .. Kalau udah jadi penulis yang terkenal jangan lupa ajak Bang Joko makan yang enak-enak ya, Al?”
“Pasti bang! Doain aja deh semoga semuanya lancar.”

Bang Joko mengangguk dan mencari-cari majalah yang aku maksud.
“Kayaknya ini majalah yang kamu cari, Al.”
“Berapa harganya, bang?” tanyaku sembari meraih majalah itu.
“Buat calon penulis sih gratis aja. Toh kalau nanti kamu sukses kan Bang Joko ditraktir juga.” Bang Joko nyengir lebar. “Semangat ya, Al!”
Aku mengangguk semangat. “Yang bener, bang? Beneran gratis, nih? Asyik …”
“Iya, buat Aliya mah nggak apa-apa deh gratis.”
“Makasih ya, bang!” teriakku senang. “Aku janji deh nggak bakal ngecewain abang. Aku bakal usahain jadi juara, bang!”

Setelah kembali dari lapak Bang Joko berjualan, aku segera membuka-buka majalah itu. Dan tepat di halaman delapan, terdapat pengumuman lomba menulis cerpen tentang kehidupan. Aku membaca syarat-syarat itu dengan sungguh-sungguh. Setelah mengerti bagaimana alur ceritanya, aku segera pergi ke tempat internet terdekat untuk membuat cerpen itu. Maklum saja, aku tidak mempunyai laptop atau komputer yang bisa digunakan untuk membuat cerpen.
Aku bersumpah, aku akan terus berjuang menjadi seorang penulis!



“Gimana, Al?” tanya Bang Joko.
Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Gagal, bang.”
“Nggak apa-apa.” Bang Joko mengusap punggungku. “Sukses itu nggak harus berjuang satu kali, Al. Masih banyak kesempatan kok. Ini, ada majalah baru. Sekilas Abang baca, ada lomba cerpen juga.”
“Nggak deh.” Aku menatap tanah sambil menggigit bibir. “Kalau kalah lagi, gimana?”
“Kok gitu? Nggak boleh patah semangat dong, Al. Katanya pengen jadi penulis yang sukses?”

Aku menatap Bang Joko beberapa detik. Bang Joko memang baik. Dia sudah seperti Kakak untukku. Selalu mendukung segala hal yang aku lakukan, selalu memberi semangat dan tidak pernah meremehkanku.
“Semangat, Al!” teriak Bang Joko. “Ini majalah buat kamu gratis deh. Asalkan kamu mau usaha lebih keras lagi.”
Aku mengangguk. Bang Joko kembali membuat semangatku terpacu. Bagaimana pun juga, aku harus berhasil!

Lomba membuat cerpen pertama, aku gagal. Di lomba pembuatan cerpen kedua, aku juga gagal. Tapi kali ini aku tidak patah semangat. Aku terus mencari informasi lomba. Aku bahkan rela menahan lapar, karena uang hasil penjualan barang-barang rongsokan itu aku buat untuk pergi ke internet. Tidak masalah, karena aku yakin, pengorbananku akan membuahkan hasil maksimal. Lomba membuat cerpen ketiga, keempat dan kelima, semuanya gagal. Semangatku mulai hilang, tapi Bang Joko selalu memberiku nasihat-nasihat yang berhasil memacu semangatku. Di lomba membuat cerpen keenam, tentang impian, aku menulis tiap kata demi kata dengan sungguh-sungguh. Tentang impianku yang menggebu-gebu sebagai seorang penulis.

Satu bulan lamanya aku menunggu pengumuman lomba itu. Dan tidak sia-sia! Sepulang dari menjual barang-barang bekas, aku mendapat kiriman surat. Aku berlari menuju lapak Bang Joko dan membaca surat itu di sana.
“Selamat, kamu menjadi salah satu pemenang dari lomba menulis cerpen tentang Impian. Tulisan kamu akan dibukukan. Setelah buku itu terbit, kamu akan mendapat royalti dari setiap penjualan. Jika setuju, kami tunggu kehadirannya di kantor kami, jalan Merpati nomer 23, Jakarta Selatan.” Aku membaca surat itu sembari tersenyum cerah.
“Bang!!” teriakku. “Aku menang! Impianku terwujud, bang!”
Bang Joko tersenyum lebar, dia maju selangkah dan memelukku erat.
“Selamat, ya, Al! Akhirnya aku bisa ditraktir sama penulis hebat kayak kamu.”
“Makasih banyak ya, bang. Ini semua juga berkat Abang.” Aku mencium surat itu berkali-kali.
“Tuhan, terima kasih untuk hadiah terindah ini. Akhirnya aku berhasil membuktikan pada semua orang, termasuk bu Tya, bahwa aku bisa menjadi seorang penulis. Perjuanganku selama delapan bulan terakhir membuahkan kebahagiaan.” Batinku.

Aku membuka amplop berwarna putih yang siang tadi diberikan oleh beberapa orang dari penerbit.
“Dua juta.” Desisku pelan. “Baru kali ini aku memegang uang sebanyak ini, Tuhan. Terima kasih atas segalanya.”
“Akhirnya … Jadi, mau traktir di mana, nih?” tahu-tahu Bang Joko nongol di belakangku.
“Abis acara meet and greet, ya, bang.” Jawabku. “Ini bukan mimpi kan, bang? Aku … Seneng banget.”
“Ini kenyataan yang selama ini kamu pengen, Al.”
Sejak tadi, tak habis-habisnya aku tersenyum. Hari ini, cerpen karyaku resmi dibukukan. Dan aku harus menghadiri meet and greet di sebuah mall. Ini seperti sebuah mimpi yang selama ini aku impi-impikan dan akhirnya terwujud. Berkat kerja kerasku, aku berhasil mewujudkan mimpiku.

Setelah sampai di mall itu, aku segera berjalan menuju lantai tiga bersama Bang Joko, menuju toko buku. Setelah sampai di depan toko buku, mendadak aku kaget. Tempat itu mendadak seperti lautan manusia. Aku menelan ludah dan berjalan pelan menuju beberapa orang yang aku kenal di atas panggung. Ternyata, puluhan orang itu adalah pembaca yang menyukai karyaku. Betapa bangganya aku. Aku terus mengumbar senyum. Sungguh, ini benar-benar menakjubkan.

“Impian saya menjadi seorang penulis sangatlah besar. Saya selalu berusaha keras menjual barang-barang bekas agar bisa pergi ke warnet untuk mengetik. Maklum saja, orang miskin seperti saya tidak memiliki barang mewah seperti laptop atau komputer.”

Mataku menyapu beberapa orang di sisi kiri. Bu Tya, beliau datang!
“Awalnya saya juga tidak yakin, apakah orang kecil seperti saya bisa menjadi seorang penulis hebat atau tidak. Tapi …” aku menoleh ke arah Bang Joko.
“Bang Joko yang selalu memberi semangat saya. Dia selalu memberi saya majalah gratis asal saya terus berusaha menjadi penulis. Itu dia, orang yang paling berharga untuk saya …” lanjutku sambil menunjuk Bang Joko. Kini, semua mata memandangnya.
“Tapi, tidak semua orang mendukung saya.” Ucapku lagi. “Ada satu orang, yang sampai saat ini ucapannya sangat saya ingat. Ya, beliau tidak yakin bahwa saya bisa menjadi penulis yang hebat. Mungkin karena keadaan saya yang miskin.” Aku tersenyum ke arah bu Tya, beliau menunduk.

“Awalnya saya memang marah, saya sakit hati. Tapi nyatanya saya salah. Semua kata-kata itu justru yang membuat saya seperti ini.”
“Satu hal yang perlu kalian tahu.” Aku kembali tersenyum. “Jangan anggap kata-kata yang menjatuhkanmu benar-benar akan menjatuhkanmu. Justru, kata-kata itu harus kalian anggap sebagai motivasi. Anggap kata-kata itu sebagai penyemangat. Seperti yang saya lakukan.” Aku berdehem pelan.
“Terimakasih, bu Tya. Berkat kata-kata Ibu saat itu, semangat saya bertambah. Saya selalu bertekad untuk menjadi seorang penulis. Hingga akhirnya, saya berhasil. Ternyata, impian tinggi seorang gadis berusia enam belas tahun itu benar-benar terwujud, bu.”

Semua bertepuk tangan. Ada juga beberapa orang yang menitikkan air mata. Aku bangga. Aku bersyukur. Ternyata ada hikmah di balik takdir yang aku anggap sebagai mala petaka ini.

Cerpen Karangan: Anadya Alyasavitri
Blog: www.anadyaalyasavitri.blogspot.com
Facebook: Anadya Alyasavitri

Paruh Baya Yang Berjasa

Paruh Baya Yang Berjasa
Sinar mentari pagi mulai terpancar dari balik awan putih yang terus bergerak menjauhi sang surya mengikuti alunan angin. Juga terdengar seruan dan kicauan burung-burung yang terbang menyusuri langit biru. Terdengar reranting dan dedahanan pohon yang saling bertabrakan satu sama lain yang seolah-olah memberikan bisikan selamat pagi kepada manusia yang melintas di hadapannya.

Di pinggir jalan yang sunyi, tepat di bawah pohon-pohon yang rindang tampak seorang lelaki paruh baya yang sedang menggenggam sapu di tangannya. Tentu saja ia adalah seorang penyapu jalanan yang setiap harinya menyapu lalu mengumpulkan serpihan daun-daun kering yang berguguran dari rantingnya. Terlihat keriput-keriput di dahi dan pipinya yang berlipat-lipat, tapi semua keriput itu seolah hilang oleh senyum manisnya yang terus terpancar dari bibir keringnya yang mungkin tak disadari.

Setiap harinya senyumannya selalu ia berikan kepada kendaraan yang melintas lalu lalang di hadapannya. Namun apa daya kaca hitam mobil selalu menghalangi senyumannya. Pak Nanang adalah sesosok yang gigih dalam bekerja. Tidak semata untuk mencari uang, tapi ia bekerja dari dalam hatinya, ikhlas untuk membersihkan kota besar dari sampah yang ada.
Suatu hari, saat terik matahari menyinari panasnya ibu kota. Tiba-tiba terlihat ada seseorang menghampiri Pak Nanang. Rapi, wangi, sopan dan ramah menyapa Pak Nanang. Entah siapakah orang itu dan apa tujuannya, lelaki paruh baya itu pun menghampirinya dan melemparkan senyuman manis kepada Sang Pria tersebut.

“Selamat Siang, Pak! Maaf saya telah mengganggu pekerjaan Anda.” sapa seseorang bernama Adri.
“Selamat Siang, Nak! Tak apa, ada yang bisa saya bantu?” jawab Pak Nanang sambil terbatuk-batuk.
“Perkenalkan, nama saya Adri Ferdiansyah. Saya seorang reporter di salah satu media cetak, Pak. Saya ingin mewawancarai Anda mengenai beberapa hal. Bisa?”
“Tentu, Nak. Boleh-boleh.”

“Kapan Bapak mulai bekerja sebagai penyapu jalanan? Dan pukul berapa Bapak mulai bekerja?” tanya Adri.
“Saya sudah mulai bekerja sebagai penyapu jalanan sejak 20 tahun yang lalu, Nak. Wah, saya bekerja dari pagi hingga sore hari. Bahkan entah terkadang lupa waktu.” sambil tertawa kecil.
“Begitu ya Pak rupanya. Hm, kalau boleh saya tahu. Berapa upah yang anda terima setiap harinya? Ada tujuan lainkah Bapak bekerja selain untuk mendapatkan upah?”
“Ya, terkadang saya diberi sebungkus nasi. Kalau rezeki saya lagi lancar, terkadang dapat Rp. 7.000. Dapat upah pun tak setiap hari. Terkadang 5 hari sekali baru dapat. Tapi, nasi saja pun sudah cukup bagi saya. Segala sesuatunya kan harus disyukuri. Alhamdullilah toh? Bekerja itu harus ikhlas, bukan semata untuk uang, tapi saya ridho membersihkan jalanan selama saya masih hidup.” sambil tersenyum.

Adri tercengang dalam hati, kaget, heran, semua rasa tak karuan menderu batinnya. Ia hanya terbujur kaku saat mendengarnya.
“Saya salut dengan kerja keras Anda, Pak!” Pak Nanang pun hanya tersenyum ketika Adri mengatakan itu dari mulutnya. Setelah percakapan singkat itu, Adri pun pamit pulang karena hari semakin gelap. Mungkin hujan akan mengguyur ibu kota sebentar lagi.

Setelah hari itu berlalu, terbitlah sebuah koran harian yang ternyata nampak sebuah artikel di bagian halaman utama. Artikel yang dilengkapi dengan foto itu ternyata adalah seorang penyapu jalanan, Pak Nanang. Masyarakat terharu, kagum bahkan terpesona akan kerja keras dan kegigihannya dalam bekerja, juga ikhlas untuk apa yang ia kerjakan. Dan hari pun telah berganti dengan bulan, namun mengapa jalanan sepi? Bukan sepi akan kendaraan, namun kemanakah penyapu jalanan paruh baya itu? Yang bekerja dari terbit fajar hingga senja hari.

Sampah-sampah berserakan dimana-mana. Banyak mata menyorot ke sana, tapi tak ada yang menggubris. Dan akhirnya terdengar sebuah kabar berita, mengenai duka cita. Ternyata, Tuhan lebih menyayangi Pak Nanang dengan memanggilnya tinggal di surga. Ia telah pergi untuk selama-lamanya. Hanya tinggal kenangan sajalah, sosok yang telah berjasa. Tanpa mengaharap imbalan apapun. Ia adalah makhluk Tuhan yang pandai menrima dan bersyukur akan keadaan.

Tamat.

Cerpen Karangan: Pinkan Adelia Kurniawan

Secercah Harapan Di Helaian Kain Pelangi

Secercah Harapan Di Helaian Kain Pelangi
Ini adalah kisah seorang gadis tegar yang terlahir dalam keluarga sederhana, namun tidak kekurangan kasih sayang. Gadis tersebut bernama Rita. Ayahnya hanya seorang petani, sedangkan Ibunya berdagang sayuran. Rita merupakan anak perempuan satu-satunya, dia mempunyai seorang adik laki-laki, terlahir sebagai seorang anak perempuan satu-satunya, tidak membuat Rita menjadi anak yang manja. Rita tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, tidak tergantung kepada orang lain. Sejak dari sekolah dasar hingga di bangku sekolah menengah kejuruan, Rita selalu menjadi juara kelas. Rita memang anak yang pintar, namun sangat pendiam. Saat pengumuman kelulusannya di SMK, Rita mejadi juara umum di sekolahnya, karena nilainya mencapai nilai tertinggi.

Setelah pengumuman kelulusan, teman-temannya sibuk membicarakan untuk berkuliah, ada yang mau mengikuti tes UMPTN, dan ada juga yang ingin melanjutkan kuliahnya di universitas swasta, namun tidak dengan Rita, membayangkan untuk kuliah saja dia tak berani. Dia sadar dengan keadaan kedua orangtuanya. Untuk makan saja susah, apalagi untuk biaya kuliah. Di suatu malam Rita begitu khusyuk dalam sujudnya, di dalam salatnya dia menghaturkan pinta kepada zat yang Maha Agung, meminta agar ada jalan yang baik agar dia bisa melanjutkan kuliah. Doa tak putus Rita haturkan di setiap hela napasnya, namun apa mau dikata, waktu penerimaan mahasiswa baru pun telah ditutup, dan uang untuk pendaftaran kuliah juga tidak ada sepeser pun.

Rita berusaha untuk berlapang dada, menepis semua rasa kecewanya, kecewa kepada Tuhan yang tak mengabulkan doa-doanya. Di dalam hatinya Rita berpikir, apakah Tuhan memang mentakdirkannya untuk menjadi orang miskin? Namun, meskipun dalam keadaan yang begitu kecewa, Rita tak pernah lupa untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah, Rita tak pernah bosan untuk meminta kemudahan kepada Allah agar diberi jalan yang lurus untuk melanjutkan kuliahnya. Mungkin untuk saat ini, Rita harus bersabar menanti di tahun depan untuk mendaftarkan diri di sebuah universitas.

Rita memang kecewa dengan tertundanya kuliahnya tahun ini, tapi Rita tak pernah putus asa. Rita memutuskan untuk bekerja, dengan ijazah SMK yang dimilikinya, Rita tidak bisa berharap lebih, setelah memasukkan lamaran pekerjaan di sana-sini, akhirnya Rita diterima juga, namun Rita harus puas kalau Rita hanya diterima bekerja di sebuah toko baju sedangkan lamarannya di tempat lain tidak ada panggilan sama sekali. Akhirnya Rita bekerja juga di sana, tapi sayang tidak lama. Rita hanya bekerja di tempat itu selama sebulan saja.

Selama bekerja di sana Rita merasa jadi budak, disuruh ini disuruh itu. Kreatifitasnya terasa dimatikan. Di dalam pikirannya Rita memberontak. “aku disekolahkan orangtuaku bukan untuk menjadi pesuruh orang seperti ini! Aku diperlakukan seperti kacung, kalau seperti ini terus, aku tidak akan berkembang, selamanya akan menjadi pesuruh. Aku harus mencari pekerjaan yang lebih baik dari ini, setidaknya tidak diperlakukan kurang baik seperti ini.”

Setelah berpikir panjang, akhirnya Rita memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan lebih memilih untuk bekerja sebagai perajin kain pelangi, atau yang lebih umum disebut dengan kain jumputan khas Palembang milik tetangganya. Dari pekerjaannya inilah Rita bisa mengumpulkan sedikit uang dengan harapan untuk melanjutkan kuliah di tahun depan. Awalnya Rita cuma bekerja sebagai perajin kain pelangi di tempat tetangganya, tapi lama-kelaamaan Rita merasa bosan jika hanya mengerjakan milik orang lain, penghasilannya pun hanya sedikit, jika dia punya alat sendiri untuk memproduksi kain pelangi, tentu uang untuk melanjutkan kuliah bisa lebih cepat terkumpul. Dengan upah yang diterimanya itu, Rita mengumpulkannya dan akhirnya dia bisa membeli alat-alat untuk memproduksi kain pelangi sendiri.

Ketegaran Rita memang tak terlepas dari dukungan kedua orangtuanya dan kekasih yang sangat mencintainya, yang dia kenal sejak masih duduk di bangku SMP, Riki namanya. Kehidupan Riki memang berbanding terbalik dengan keadaan Rita. Riki berasal dari keluarga berada. Riki dan Rita memang sudah sangat dekat, bahkan kedua orangtua mereka pun sudah merencanakan pertunangan untuk mereka. Riki berkuliah di IAIN Raden Fattah Palembang, jurusan Tarbiah. Rita memang sangat beruntung mengenal Riki, bukan hanya sosok yang penyayang, tapi juga begitu religius. Semenjak mengenal Riki, Rita pun berubah menjadi lebih taat kepada agama. Lama-kelamaan Rita pun terketuk hatinya untuk memperbaiki dirinya dengan berhijab.

Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu, setahun sudah penantian Rita untuk menjadi mahasiswa, uang untuk pendaftaran yang telah dikumpulkannya selama setahun ini dengan penuh perjuangan dan susah payah pun sudah cukup terkumpul. Rita segera mendaftarkan diri di sebuah universita swasta di Palembang. Kuliah, itulah keinginan Rita sejak dulu. Ini adalah hari pertama Rita kuliah, hari pertamanya memulai kehidupan baru sebagai seorang mahasiswa. Menjadi seorang mahasiswa, berarti akan banyak uang yang akan dibutuhkannya, sedangkan ongkos yang diberikan Ibunya hanya enam ribu rupiah, sedangkan penghasilannya sebagai pembuat kain pelangi tak bisa diganggu gugat, karena uang itu akan Rita kumpulkan untuk SPP-nya di semester depan.

Dengan berkulaih, otomatis pekerjaannya sebagai pembuat kain pelangi akan sedikit terhambat. Rita memutar otak bagaimana caranya agar bisa menghemat uang enam ribu dari Ibunya itu, sedangkan ongkos angkot saja sudah empat ribu rupiah pulang-pergi dari kampusnya ke rumah. Setelah berpikir panjang untuk menemukan solusi menghemat uang enam ribu miliknya itu, akhirnya Rita menemukan cara, yaitu dengan berjalan kaki. Ya, berjalan kaki dari rumahnya ke kampus pulang-pergi setiap hari, ini tidak bisa ditawar lagi dan harus dia lakukan jika ingin kuliahnya lancar dan tidak putus di tengah jalan. Rita tak ingin kedua orangtua dan Riki tahu jika Rita berjalan kaki. Kalau mereka sampai tahu, pastinya mereka akan cemas dan melarang Rita untuk berjalan kaki.

Setiap pukul enam pagi Rita berangkat dari rumahnya, perjalanannya dari rumah ke kampus memakan waktu sekitar satu jam, tapi kalau naik angkot paling cuma lima belas menit. Setiap hari Rita berjalan kaki tanpa sepengetahuan orangtua dan pacarnya. Tak terasa sekarang Rita sudah semester tiga, dengan penuh ketegaran Rita berhasil merahasiakan perihal setiap hari dia harus berjalan kaki dari orangtua, pacar, serta teman-teman satu kelasnya selama tiga semester ini. Tapi setiap rahasia tentu akan terungkap juga, tanpa terduga, di suatu sore saat Rita pulang kuliah, ternyata Riki melihat Rita berjalan kaki dari kantor PLN, dengan penuh pertanyaan di dalam pikirannya, Riki membuntuti Rita tanpa sepengetahuan Rita.

Setelah tepat berada di depan rumah Rita, Riki memanggil Rita, kemudian menanyai Rita, akhirnya Rita menceritkan semuanya kepada Riki tentang apa yang dia lalui selama tiga semester ini. Mendengar cerita dari Rita, Riki tampak begitu kagum dengan kegigihan pacarnya itu. Setelah mendengarkan semua cerita dari Rita, tanpa ragu Riki langsung mengutarakan keinginannya untuk segera bertunangan dengan Rita, agar Rita tidak merasa canggung lagi jika harus diantar-jemput oleh Riki. Tanpa ragu Rita pun langsung mengiyakan permintaan Riki itu.

Hari ini tanggal 5 Januari 2011. Riki berjanji akan mengajak Rita untuk jalan-jalan ke mall. Walaupun Riki juga kos di Palembang, tapi mereka berdua sangat jarang bertemu. Bukan karena tidak ada waktu, tapi itu sudah menjadi kesepakatan mereka berdua. Hari ini Riki memang tampak berbeda, hari ini dia begitu romantis. Tak pernah selama mereka pacaran Riki memegang tangan Rita, tapi untuk kali ini, Riki dengan penuh cinta memegang tangan Rita, dan anehnya Rita pun tak menolaknya, padahal biasanya Rita tak pernah mau, walaupun hanya memegang tangan. Mungkin hari itu merupakan hari yang paling indah yang pernah dilalui Rita bersama Riki. Di hari itu juga Riki mengatakan bahwa dia ingin bertunangan dengan Rita di tanggal 25 Mei 2011, bertepatan dengan hari ulang tahun Rita.

Mungkin sulit bagi Rita untuk mengungkapkan kebahagiaan yang dirasakannya saat ini, benar-benar kebahagiaan yang luar biasa. Kata-kata yang sedari dulu dinantikan Rita kini sudah terucap dari mulut Riki. Saat itu Rita tak bisa menahan tangis bahagianya, apalagi saat mendengar pesan dari Riki untuk dirinya agar senantiasa menjaga hijabnya lahir batin, bukan hanya menutup rambut dengan helaian kain, tapi hatinya pun harus dihijab. Waktu berlalu begitu cepat, hari sudah nampak sore. Rita pun segera mengajak Riki untuk pulang. Malam harinya sekitar pukul 19.00 WIB Riki menelepon Rita, Riki meminta izin pamit pulang ke Ogan Ilir. Memang sudah biasa Riki pulang ke OI pada malam hari karena menurutnya, perjalanan di malam hari lebih cepat sampai ke tempat tujuan.

Malam semakin larut, sudah menunjukkan pukul 01.00 WIB, tapi Rita tak kunjung tertidur. Hatinya resah, entah mengapa yang terlintas di pikirannya kini hanyalah Riki, biasanya setelah dua jam perjalanan, Riki selalu memberitahukan kalau dia sudah sampai di rumah, tapi sekarang tidak, handphone-nya tidak bisa dihubungi. Sekitar pukul 03.00 WIB dini hari, Ibunda dari Riki menelepon Rita, kali ini kabar yang dibawa bukanlah kabar yang membahagiakan, kabar itu membuat Rita hilang arah, bumi seakan runtuh, kabar itu adalah kabar tentang meninggalnya Riki, ternyata Riki meninggal dalam sebuah kecelakaan dalam perjalanan pulang ke OI. Alangkah hancurnya hati Rita, orang yang selama ini sangat mengerti dia, sangat perhatian dengan dia dan sangat mencintai dia, kini sudah pergi untuk selama-lamanya. Hilang semua harapan dan semangat dalam dirinya. Pernah terucap dari mulut Rita bahwa dia tidak bisa hidup tanpa Riki.

“Ya Allah, alangkah beratnya cobaan yang kau timpakan padaku. Cuma dia yang begitu mengerti aku, selama ini aku bisa kuat dengan kerasnya hidup yang ku alami karena dia selalu ada dalam suka dukaku. Tapi kini dia sudah menghadapmu, harus ku sandarkan kepada siapa lagi keluh kesahku nanti? Mungkin tak aka nada yang bisa seperti dia, tak akan ada yang bisa setulus dia, tak akan ada yang sebaik dia. Kuatkan hati hamba ya rabb! Hamba benar-benar tak mampu hidup tanpa dia. Jika aku boleh meminta, ambillah nyawaku sekarang juga agar aku bisa bersama-sama dia selamanya.”

6 Januari 2011, merupakan hari terkelam dalam hidup Rita. Dengan diantar oleh Ibu dan Ayahnya, Rita datang ke rumah duka di OI. Kini yang bisa Rita lihat dari wajah kekasihnya hanyalah senyum kaku. Rita tak kuasa membendung kesedihannya, sempat tersirat di hatinya, mungkin dia tak kan bisa mencintai seorang laki-laki lagi, yang dia cintai hanyalah Riki yang kini telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya menghadap Tuhan.

Pasca meninggalnya Riki, Rita nampak murung. Tak tampak keceriaan dalam dirinya. Semangatnya untuk berkuliah dan menggapai cita-cita pun seakan sirna. Semenjak kepergian Riki, Rita berubah menjadi sosok yang semakin pendiam, sering melamun dan murung. Rita memang tertutup dengan teman-tamannya, terutama teman kampusnya. Teman sekelasnya pun tidak ada yang tahu tentang derita batin yang dialami Rita, karena Rita memang tidak pernah punya teman dekat yang bisa dijadikan tempat untuk mencurahkan isi hatinya, dulu ada Riki yang selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahnya, tapi kini tidak ada lagi.

Semua beban seakan terasa semakin berat. Tapi Rita beruntung, tanpa sengaja Rita mengirimkan SMS kepada seorang teman sekelasnya yang bernama Romi, dalam SMS-nya Rita menanyakan jadwal kuliah, namun tanpa disadari Rita, ternyata dari SMS itulah dia mulai dekat dengan Romi. Mereka berdua sering berkirim pesan lewat SMS, Romi terkadang curhat tentang mantannya yang pergi meninggalkan dia tanpa alasan, dan Rita juga menceritakan kesedihannya tentang meninggalnya Riki. Semakin lama kedekatan mereka semakin terasa, meskipun di kelas mereka jarang ngobrol, tapi lewat SMS mereka begitu dekat. Rita menganggap Romi sudah seperti Kakaknya sendiri, bahkan pernah Rita menjodohkan Romi dengan sepupunya tapi tidak berhasil.

Tanpa terasa sudah sepuluh bulan lebih kepergian Riki, namun Rita masih belum bisa melupakan Riki, cintanya begitu dalam kepada Riki, namun dalam batinnya, dia tak mungkin begini terus-menerus. Mungkin jodohnya dengan Riki hanya sampai di sini saja. Dia harus belajar membuka hati untuk cinta baru. Di tengah kegalauannya, Rita seolah menemukan sosok Riki kembali hidup dalam diri Romi, mungkin Romi tak sepenuhnya bisa seperti Riki, tapi sepertinya Rita merasakan kenyamanan jika berada di dekat Romi. Di dalam hatinya Rita bertanya, apakah Tuhan telah mengirimkan sosok pengganti Riki lewat Romi? Semakin lama Rasa itu semakin kuat, membuat Rita bingung, mungkinkah itu adalah rasa cinta?

“Ya Allah, mungkinkah rasa yang sedang ku rasa kini adalah rasa cinta? Tapi apakah Romi juga merasakan rasa yang sama dengan apa yang aku rasa saat ini? Ya Allah, jika Romi adalah jodohku yang telah tertulis di Lauhil Mahfuz untukku, maka dekatkanlah hati kami, tumbuhkan rasa cinta di antara kami, tapi jika kami tak berjodoh, maka berilah petunjuk-Mu kapada hamba.”

Seusai mengerjakan salat istikhoro, Rita langsung terlelap dalam ketenangan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Dalam tidurnya ternyata Rita bermimpi, dalam mimpinya itu Rita mengalami hal yang menyedihkan, dia ditelanjangi oleh lima orang laki-laki hingga tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya, bahkan jilbabnya pun terlepas, tapi untunglah ada seorang laki-laki yang menolongnya dan membawakan sehelai kain untuk menutupi tubuh Rita, dan ternyata laki-laki itu adalah Romi. Rita terperanjat dari mimpinya itu, lalu Rita kembali berwudu dan kembali salat istikhoro, dan mimpi itu pun kembali berulang sebanyak tiga kali di malam itu.

Pertanyaan yang muncul dalam benaknya apakah mimpi itu petunjuk dari Allah kalau Romi adalah jodohnya. Rita tidak menceritakan mimpinya itu kepada siapa pun, bahkan kepada Romi pun tidak ia ceritakan. Semakin hari mereka semakin akrab, tepat tanggal 3 Oktober 2011 Romi menanyakan suatu hal kepada Rita lewat SMS, pertanyaan itu membuat Rita salah tingkah dan tidak tahu harus menjawab apa.
Romi: “Rita, aku mau tanya sesuatu hal yang penting kepadamu, tapi jawab dengan jujur ya!”
Rita: “emang kamu mau tanya apa? Kayakynya serius banget, ada apa?”
Romi: “sebenarnya kamu suka gak sama aku?”
Rita: “kamu tuh kok aneh banget! Tumben tanya-tanya gitu?”
Romi: “aku sayang kamu, kamu sayang aku gak? Jawab jujur, cukup satu kata, iya atau tidak. Bagi aku, cinta hanya sekali, dan ungkapan cinta juga cukup sekali.”
Rita: “Ayahku bukan pegawai seperti Ayahmu, aku hidup dalam keluarga yang amat sangat sederhana, aku gak suka jalan, seperti yang kamu tahu, aku bukan orang yang ramah, bahkan banyak yang bilang kalau aku ini orang yang pendiam. Apakah kamu gak tersiksa punya pacar seperti aku? Aku gak mau kecewa lagi, aku udah cape pacaran yang kayak anak SMA.”
Romi: “yang perlu kamu tahu, aku sayang sama kamu, semua terserah kamu mau terima atau tidak ungkapan cinta aku, yang jelas aku udah jujur.”
Rita: “kalau kamu bisa terima aku apa adanya, aku terima.”

Singkat cerita, akhirnya Rita dan Romi berpacaran, memang sosok Romi begitu jauh berbeda dengan Riki. Dari segi perhatian, religi, bahkan dari segi keromantisan pun sungguh jauh berbeda, tapi walaupun Romi bisa dibilang tipe cowok yang cuek, Romi banyak memberikan masukan-masukan serta nasihatnya kepada Rita. Kedewasaannya membuat Rita merasakan kenyamanan menjadi pacar Romi, tapi memang hubungnnya Rita dan Romi tidak semulus hubungan Rita dengan Riki, terlalu banyak tantangan yang Rita lewati, mulai dari hubungan yang putus-nyambung, teman-teman yang suka mengompori, hingga sikap diam Rita yang sering menjadi masalah dalam hubungan mereka.

Rita perlu belajar banyak untuk lebih memahami sikap Romi yang begitu bertolak belakang dengan sikap Rita sendiri yang terlalu halus perasaannya. Kesamaan pemikiran antara Romi dan Rita membuat hubungan keduanya bisa bertahan lama, meski terkadang Rita meragukan kesungguhan Romi, tapi dalam lubuk hati terdalamnya, Rita tak mau kehilangan lagi orang yang dicintainya untuk yang kedua kalinya. Terkadang Rita mengalami keterpurukan dan rasa jenuh dengan apa yang harus dia lalui selama ini, setiap hari Rita harus bekerja keras untuk mengumpulkan uang demi biaya kuliahnya.

Siang hari dia harus kuliah, malam harinya hingga jam dua pagi Rita harus bergulat dengan pekerjaannya membuat kain pelangi, setiap hari berulang-ulang terus-menerus seperti itu. Kalau tidak membayangkan kesulitan yang dialami orangtuanya, mungkin sudah lama Rita berhenti kuliah, tapi karena semangat dari kedua orangtuanya Rita masih bisa bertahan melawan kejenuhan yang dirasakannaya, Romi juga sering menyemangtinya. Romi memang terlihat keras di luarnya, tapi sebetulnya sangat lembut pribadinya, meskipun dari segi religi-nya Romi sangat jauh berbeda dengan Riki, tapi Rita merasakan kenyamanan menjalani hubungan dengan Romi.

Memang sekarang ini keadaan Rita tak sesulit dulu. Rejekinya memang sedikit lebih baik, pesanan kain pelangi sedang banyak-banyaknya, apalagi sekarang Rita mendapatkan beasiswa hingga selesai pendidikannya di jenjang S1. Mungkin ini adalah jawaban dari doa-doa yang tak putus Rita pintakan kepada Allah di setiap sujudnya. Sedikit banyak Rita bisa membantu Ibunya membiayai sekolah Adiknya yang kini masih duduk di bangku SMK. Dalam benaknya, Rita tak ingin kalau Adiknya merasakan kesulitan seperti apa yang dia rasakan dulu, cukuplah dirinya saja yang merasakan kerasnya hidup.

Perjalanan hidup Rita memang masih panjang, masih banyak yang harus Rita lalui, kesulitan-kesulitan yang mampu dia lalui hingga kini nampak seperti keajaiban yang telah berbuah kebahagiaan, mungkin dulu Rita merasakan keterpurukan saat sempat tertundanya kuliahnya selama satu tahun, kerja keras siang malam demi melanjutkan kuliah, meninggalnya Riki, namun, kini segala kesulitan telah berubah menjadi berkah yang berlapiskan kebahagiaan. Kini telah ada Romi yang menaungi hatinya, Romi bukan bayangan Riki, dan Romi tetaplah Romi yang tak bisa ia sulap menjadi Riki.

Rita berharap, semoga kebahagiaan yang dia rasa kini tetap terasa untuk saat ini, esok, lusa, dan nanti. Rita berharap, semoga dia tetap bisa bertahan dengan Romi, dan juga sebaliknya dengan Romi tetap bisa bertahan dengannya, memaklumi semua kekakuannya, serta bisa menerima sikap diamnya selama ini, karena seperti itulah dirinya. Cinta tak seharusnya selalu duduk berdua, cinta itu nurani!
“Biarkan aku kaku untuk saat ini, tapi nanti kau akan mendapati aku sebagai seorang istri yang lembut, penyayang, selalu ada di saat suka dukamu, serta akan salalu memperhatikanmu.” Itulah kata-kata yang ingin diucapkan Rita kepada Romi. “Ana ukhibbuka fillah ya Khabibi!”

Cerpen Karangan: Sumy Muchtar